Sin dan Kolosal - Bab 1
Sin membuka pintu rumahnya.
Seperti biasa, debu-debu yang dihempaskan oleh angin langsung menerpa wajahnya. Sebagian masuk ke dalam matanya. Sin mengerjapkan matanya yang pedih dan berair. Berusaha untuk melihat keadaan di sekelilingnya, berharap keajaiban akhirnya muncul. Tapi Sin tahu, harapannya itu tidak akan pernah terwujud. Segalanya masih buruk. Tanah-tanah retak, tumbuh-tumbuhan mati kekeringan, dan angin berhembus panas dan bau bangkai tercium begitu kuat di tiap hembusannya.
Dunia telah mati. Sin mengatakan pada dirinya sendiri. Tangannya yang kurus segera mengambil cangkul yang ada di teras rumahnya yang berdebu.
"Menggali lagi?"
Mr. Kurkupa membuka jendela rumahnya yang kotor. Pria tua dengan rambut serba putih itu tinggal di sebelah rumah Sin.
Tanpa berkata apa-apa, Sin hanya menganguk. Dia segera mencangkul tanah halaman depan rumahnya yang sudah berlubang sedalam satu meter.
"Apa yg kau cari, Nak?" tanya Mr. Kurkupa penasaran."Tidak ada air lagi di bawah sana. Semuanya sudah lenyap. "
Sin tidak menyahut. Dia terus menggali.
Tiba-tiba bunyi lonceng terdengar nyaring. Seseorang akhirnya sudah bebas dari neraka ini, batin Sin. Dia merasa iri sekali. Dia ingin mati dan berkumpul dengan semua orang yang dicintainya di surga sana. Dia sudah lelah menjalani hidup yang tidak ada harapan ini.
"Siapa yang meninggal itu, Dorothy?" Mr.Kurkupka bertanya pada seorang wanita tua yang sedang berjalan pelan-pelan di trotoar depan rumahnya.
"Clift. Dia mati kelaparan," kata Dorothy Milxie setengah berteriak. "Entah kapan kematian menjemput kita, Zen."
Mr.Kurkupka tersenyum. "Tak kusangka kita lebih menyukai kematian daripada kehidupan, Dorothy."
"Lima tahun lalu mungkin kita suka kehidupan. Tapi sekarang, aku lebih suka melihat malaikat pencabut nyawa di depan rumahku, Zen."
Mr.Kurkupka tertawa."Semoga keberuntungan segera mendatangi kita, Dorothy," katanya sambil menutup jendelanya.
Sin menatap jendela Mr.Kurkupka yang baru saja tertutup. Ternyata bertambah lagi saingannya untuk mendapatkan tiket meninggalkan dunia busuk ini, batinnya.
"Sin!"
Seseorang memanggil Sin. Ternyata orang itu Kolosal, satu-satunya sahabatnya yang masih hidup. Dia berlarian memasuki pekarangan rumah Sin.
"Ada apa?" tanya Sin.
Rasa iba segera merundunginya. Tak disangka, sahabatnya itu tampak seperti kerangka hidup yang dipakaikan jenggot dan rambut panjang yang bau. Padahal lima tahun yg lalu dia adalah pemuda tampan, idaman semua wanita.
"Aku baru mendapatkan kabar baik," kata Kolosal riang.
"Apa itu?"
Kolosal mendekatkan dirinya pada Sin. "Aku dengar masih ada sebuah kota yang menyimpan banyak air dan makanan," ucapnya setengah berbisik.
"Kota apa?" Sin mencoba untuk tertarik.
"Genasad," Kolosal tersenyum cerah. Menunjukkan sederetan giginya yang kuning dan tidak terawat. "Kota yang ada di utara itu."
"Bagus."
"Kalau begitu ikutlah denganku."
"Aku rasa aku ingin tetap berada disini saja."
Kolosal memegang tangan Sin. Wajahnya mendadak serius."Aku dengar mereka membawa Emeon ke sana. Pacarmu itu masih hidup."
"Tidak mungkin," kata Sin cepat.
Emeon telah dibunuh oleh Kanabal seminggu yang lalu. Kanabal merupakan sekelompok manusia yang memakan manusia lain untuk bertahan hidup.
Emeon yg malang diculik mereka seminggu yang lalu. Sejak saat itu Sin tidak pernah bertemu lagi dengannya. Semua orang yakin Emeon sudah mati.
"Durgudi si pengembara itu baru saja sampai di balai kota. Dia melaporkan tentang Genasad. Dalam perjalanan pulang, dia bertemu dengan Kanabal. Dia nyaris diculik. Dia bersumpah padaku bahwa sebelum kabur dia sempat melihat Emeon di salah satu kerangkeng milik Kanabal."
Harapan baru mendadak muncul dan menyesakkan dada Sin. Emeon masih hidup!
"Jadi, bagaimana?" tanya Kolosal penuh harap. "Apa kau mau ikut denganku?"
***
- Amalia FR
Comments
Post a Comment