Bab 8 - Laura Heffner

"Jadi kau akan melompat?"

Laura menoleh dan tersenyum cerah. Ia menuruni pembatas di atap gedung dengan santai.

"Bukankah itu sebuah kesimpulan yang gegabah, Dr. Biel?" tanyanya tenang.

Lee balas tersenyum.

“Ini yang menjadi masalah dalam masyarakat kita,” gumam Laura. “Asumsi prematur membuat kita tidak tahu bagaimana cara memperlakukan sesama"

"Aku hanya berharap kau memiliki cara yang sedikit tidak ekstrem untuk menenangkan diri," balas Lee, kalem.

Laura tersenyum kembali. Dia gadis berusia 19 tahun namun terlihat jauh lebih dewasa. Rambut cokelatnya bergerak mengikuti angin yang berhembus cukup kencang di atap rumah sakit. Pipinya merona merah. "Apakah kau merasa jauh lebih kuat karena belum memutuskan untuk bunuh diri?"

Lee mengeluarkan botol mineralnya dari jubah kerjanya dan menawari Laura.

Laura menggeleng dan lanjut berbicara. "Banyak orang menganggap bahwa orang yang memutuskan untuk bunuh diri adalah orang yang lemah. Tapi sayangnya aku tidak berpikiran seperti itu."

"Oh ya?"

Laura menganguk sambil melipat kedua tangannya. "Aku rasa mereka hanya berpikir realistis. Mereka tahu bahwa pola pasang surut kehidupan akan selalu begitu. Kadang bahagia, kadang menderita. Itu semua mudah ditebak oleh mereka. Pada akhirnya mereka menjadi begitu lelah untuk mengikuti aturan main kehidupan yang sangat standar ini."

"Jadi mereka bosan?"

“Mereka tidak bosan. Mereka hanya lelah. Permainan yang tidak berujung.”

Lee membiarkan Laura terus mengeluarkan isi pikirannya.

"Ini yang ironis dalam masyarakat kita. Hampir dari kita semua menyayangkan mengapa seseorang yang melakukan bunuh diri tidak berusaha lebih dulu mencari bantuan atau berbagi apa yang mereka rasakan kepada orang lain. Well, sebenarnya mereka telah melakukannya. Tapi tidak semua orang ternyata benar-benar peduli. Tidak semua orang benar-benar ingin berkomitmen membantu mereka. Itu hanya seni berbasa basi. Mungkin itulah sebabnya tuhan diciptakan. Karena manusia akan mengeluh terus menerus dan tidak semua manusia lainnya punya waktu dan keinginan untuk mendengarkan. Jadi mari buat satu sosok pengganti yang kuat dan tak tertandingi sehingga manusia apapun dapat lari kepadanya dan menceritakan keluh kesahnya. Kau tahu? Seperti mendapatkan kenyamanan emosional. Mereka akan merasa mendapat perlindungan meskipun kenyataannya mereka berbicara seorang diri. Seperti berbicara dengan tembok. Tapi, siapa yang peduli jika itu membuat mereka merasa baik kembali, bukan?"

Lee memilih bersender di dinding dan menatap Laura yang menjadi begitu datar."Kau tahu semua orang memiliki kecenderungan untuk bunuh diri meskipun jauh di dalam hatinya mereka tidak benar benar ingin mati?" tanyanya.

Laura menatap Lee. Ketertarikannya mulai terlihat.

"Mereka hanya ingin menghilangkan rasa yang tidak nyaman yang sedang mereka alami saat itu. Mereka hanya bingung bagaimana cara mengatasinya sehingga bunuh diri seolah menjadi salah satu solusi tercepat."

Laura mengambik pistol yang diletakkan di atas dinding pembatas. Menempelkan ujungnya di pelipis kanannya. "Kau tahu bagaimana rasanya mengendalikan kehidupanmu sendiri, dr.Biel? Bagaimana rasanya kau bisa memutuskan kapan kau ingin mengakhiri hidupmu atau tidak?"

"Kau pasti sangat mengetahuinya?" jawab Lee, moderat.

"Sejujurnya aku lebih suka mengendalikan kehidupan orang lain. Rasanya sangat luar biasa. Kau tahu itu, bukan?"

"Aku tidak benar-benar merasa itu luar biasa.”

Laura mengarahkan senjatanya kepada Lee.

“Kau tidak menghilang, bukan?” tanya Lee. “Semua yang dikatakan media itu tidak benar. Orang tuamu berusaha menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya.”

“Bahwa aku seorang pembunuh?” Laura tertawa sinis.

“Berapa banyak pskiater yang telah kau habisi nyawanya?”

“Dua sejauh ini.”

“Apakah itu menyenangkan?”

Laura tersenyum puas. “Rasanya cukup menyenangkan menutup mulut orang-orang yang tidak peduli denganku selain hanya ingin mendapatkan bayaran yang tinggi."

“Apakah kau akan membunuhku?”

“Belum kuputuskan,” jawab Laura, tenang. "Apakah kau pernah membunuh orang, dr.Biel?"

Lee menggeleng. "Aku tidak pernah melakukannya. Tapi jika dengan membunuh maka kau bisa merasa lebih baik, maka aku tidak akan melarangmu untuk itu."

"Kau tidak mengerti."

"Kau benar. Aku tidak mengerti," Lee berjalan mendekat.

"Kau tidak tahu rasanya, kau hanya orang luar," Laura terus berada di posisi membidik namun tangannya mulai bergetar.

"Dia menyerangmu, bukan?" kata Lee, pelan. "Seseorang yang kau sangat percayai?"

Laura terdiam.

"Dan dia masih bebas berkeliaran dan melakukannya kepada yang lain?" tebak Lee, pelan.

Kedua mata Laura tampak kosong.

"Laura?"

Tiba-tiba Laura menjerit dan berlari ke arah pembatas dinding. Lee berhasil cukup dekat dengannya sehingga ia bisa menahan jatuh Laura dengan menarik baju belakangnya.

Tubuh Laura jatuh terjerembap sementara pistolnya terlempar. Lee segera memeluknya. " Tidak apa-apa," katanya. Laura memberontak dan terus menangis.

"Aku ingin dia mati! Aku ingin dia mati!" tangisnya.

"Dia akan mati, " bisik Lee, pelan. "Percayalah padaku."

Laura menangis dengan rasa kesakitan sehingga akhirnya ia menjerit keras.

Lee menatap ke arah belakangnya. Geraldine menatap dengan simpatik bersama pihak keamanan rumah sakit. Ia berhasil membawa Anne Sharon pergi. Dia adalah perawat yang diserang Laura pada saat akan memberikan sarapan. Tak ada yang tahu bagaimana Laura berhasil mendapatkan senjata di dalam kamar isolasinya. Namun senjata itu berhasil digunakannya untuk menyandera Anne dan membawanya ke atap rumah sakit.

Anne sudah tergeletak dengan luka tembak di perut ketika Lee tiba di atap.

- Selamat Pagi, dr.Biel, Bab 8, AFR

Comments

Popular Posts