Jurnal 30 - Bab 1
Kau lihat perempuan itu?
Yang tengah duduk sendirian di sofa warna hitam dengan tangan sibuk memegang ponsel pintarnya sementara mulutnya sibuk mengunyah potato chips.
Ya , itu aku.
Mataku sedikit memicing saat membaca beranda media sosialku. Melihat bagaimana para netizen membicarakan dengan semangat sekaligus marah tentang peristiwa bom bunuh diri yang baru saja terjadi.
Kadang aku ingin menulis tentang hal yang serupa, tapi aku memutuskan untuk tidak memeriahkannya.
Jadi kuteguk minuman sodaku dan mencari kontak seseorang di ponsel pintarku.
Terdengar bunyi dering yang cukup lama.
Lalu akhirnya tersambung.
"Aku baik-baik saja," kataku kemudian.
"Oh ya?" balas suara itu.
"Aku selamat dari pengeboman."
"Bagus, kau berada di Jakarta. Bukan di Surabaya."
"Itu bisa saja aku. Kau pikir hanya karena aku berada di Jakarta maka aku tidak mungkin terkena?"
"Kau terlalu busuk sampai surga tak tertarik menerimamu. Apa kau tahu itu, Ami?"
Aku tertawa. Memakan chipsku lagi. Aku selalu suka cibiran kasarnya.
"Tapi aku senang kau selamat."
"Ya, aku tahu kau akan senang."
"Jadi, apa yang membuatmu tiba-tiba menghubungiku?" kata suara itu lagi. Suara itu terdengar begitu malas dan kejam.
"Aku perlu bicara denganmu.'"
"Kenapa kau perlu bicara denganku?"
"Aku ingin membully seseorang. Memuaskan egoku, kau tahu?" kataku sambil menyesap soda dan mendengarkan lawan bicaraku menggerutu seperti biasanya.
"Kau menghubungi seseorang di Australia hanya untuk membully? Kau tahu kau manusia paling busuk yang pernah kutemui?"
"Dan kau orang paling tidak beradab yang pernah aku kenal, bukan?"
Terdengar dengusan khas itu. "Kau tidak ingin pergi ke Australia?"
"Kirimkan aku tiket."
"Aku akan mengirimkanmu sebuah undangan. Untuk Ami si iblis yang selalu merusak kehidupan orang lain."
"Kau tahu kau sudah tua dan mendekati ajal? Apa kau tidak sebaiknya menjadi lebih beradab agar surga mau menerimamu?"
"Aku tidak peduli dengan surga."
"Kau pikir kemana kau akan pergi setelah mati?"
"Aku hanya akan bergabung dengan tanah."
"Kau tidak suka hidup selama-lamanya?"
"Aku tidak tertarik. Terima kasih."
"Kau tahu bahwa ilmuwan akan membuat teknologi dimana kau dapat hidup selamanya dan bebas dari penyakit?"
"Mungkin. Tapi aku tidak terlalu tertarik untuk mencobanya."
"Karena versi mudamu lebih buruk?"
"Persetan denganmu."
Aku tertawa. "Kau tahu bahwa persetan denganmu berarti aku sayang padamu?"
"Apa?"
"Kau orang tidak beradab," kataku menjelaskan. "Kau tidak bisa mengungkapkan isi hatimu yang sebenarnya."
"Dan kau tidak?"
"Aku beradab, itu sebabnya aku selalu berbaik hati padamu."
"Ami?"
"Ya?"
"Kau tahu aku selalu membencimu, bukan?"
Aku tersenyum mendengarnya.
"Aku tahu," jawabku. "Senang berbicara denganmu."
Sambungan telepon itu terputus.
***
Amalia FR
Comments
Post a Comment