Siapa Tahu
Langkahku bergema
Lalu bergemericik karena alas kakiku dengan mantap menginjak kubangan air disaat mataku terpaku pada titik di seberang sana
Tawa yang begitu riang
Aku bertanya tanya, siapa gerangan yang tertawa begitu lepas tanpa beban?
Seolah itu semua keluar dari hati yang tak pernah terluka sama sekali
Mungkin aku terlalu pesimis hingga mengira tidak akan pernah mendengar tawa renyah itu lagi
Mungkin karena terlalu banyak tawa yang dipaksakan yang kudengar maka aku nyaris berpikir bahwa semuanya sudah menjadi palsu
Tapi bocah ini, dengan kakinya yang tidak dalam kondisi sehatnya , terbahak bahak memperhatikan sang ibu yang tengah menghiburnya
Menghibur dengan candaan sederhana tapi sepertinya ampuh
Aku tersenyum
Tak sebegitu rumit membuat sebuah kenyamanan ternyata
Aku pikir selama ini selalu tentang uang, uang dan uang
Dompet tebalku, mungkin bisa membuat diriku dan duniaku tersenyum
Tapi semua tersenyum untuk apa?
Akankah kami semua masih tetap tersenyum meskipun dompet ini begitu sunyi?
Mungkin saja bisa. Bisa sekali
Aku kemudian berjalan terus di bawah kolong jembatan yang suram
Aku melihat seorang laki laki dengan penampilan sangat kumuh. Berjongkok menghisap rokoknya
Heran aku bagaimana ia lebih memilih membeli rokok ketimbang makanan untuk dirinya
Mungkin makanan lebih mahal?
Mungkin dia lebih membutuhkan rokok ketimbang makanan untuk bertahan hidup
Ia menatapku dan aku hanya memalingkan pandanganku dengan cara yang aku sesali
Seharusnya aku tidak perlu begitu angkuh padanya
Aku bisa saja menjadi sepertinya suatu saat nanti
Aku bertanya tanya, mungkinkah dulunya ia seorang yang kaya namun gagal mengendalikan kekayaannya agar tidak habis begitu cepat?
Atau mungkin dia memang sudah melarat dan berharap terbebas dari kemelaratan namun tetap saja gagal karena mungkin ini bukan tempat yang tepat untuk ia bebas dari keadaan busuk itu?
Aku tidak tahu
Bagaimana dengan nenek nenek itu? Yang hanya memakai pakaian dalam dan kain yang duduk diantara barang barang rongsokan itu?
Tubuh ringkihnya penuh dengan koreng dan ia duduk bersama para kucingnya
Apakah ia bosan? Menghadapi keadaan yang itu itu saja?
Ah, itu dia suaminya pulang. Tua renta tapi masih tampak bahagia dan ia bersatu kembali dengan sang istri di rumah tanpa dinding
Para manusia sepertiku dapat dengan mudah mengakses rumah tangga mereka karena semuanya begitu transparan
Kami bahkan mampu menonton mereka layaknya menonton sebuah sinetron keluarga cemara yang nyata adanya
Tapi dimanakah para anak mereka yang seharusnya mampu membantu mereka keluar dari rumah yang tak layak itu?
Apakah mereka punya anak atau jangan jangan mereka punya namun sang anak sama melaratnya seperti mereka?
Aku tidak tahu
Aku bisa saja menyeberang dan bertanya pada mereka
Tapi seseorang telah menjemputku
Membawaku menjauh dari para gelandangan itu
Pantaskah aku menyebut mereka dengan sebutan itu?atau kusebut saja mereka itu "orang yang tidak beruntung"?
Tapi mungkinkah mereka benar benar tidak beruntung seperti dalam pikiranku?
Atau.. jangan jangan akulah yang selama ini tidak beruntung? Yang punya lebih dari mereka tapi tetap merasa selalu ada yang kurang?
Mungkin karena aku tidak pernah menghargai apa yang ada
Mungkin karena aku menganggap remeh temeh semua ini
Semua yang aku pikir tidak penting ternyata bisa menjadi sesuatu yang begitu penting untuk mereka
Ini konyol sekali. Bagaimana aku belajar sesuatu dari mereka yang bukan professor, para pemikir hebat
Tapi kita memang bisa belajar darimana pun, bukan?
Maka kini aku mencoba memperbaiki cara pikirku yang suka meremehkan apapun
Kini aku perlu lebih banyak mengerti soal menghargai
Tidak mudah memang, tapi waktu akan membantu
Tentu aku akan kembali pada mereka. Para pendidikku yang melarat
Siapa tahu aku mampu berbuat sesuatu untuk mereka
Siapa tahu aku bisa membuat sedikit perubahan
Siapa tahu
-Amalia FR
Comments
Post a Comment