Bab 4 - Ken Yang Malang

"Lihatlah dirimu," gumam Ryan Smith dengan senyum lebar.

Kulit cokelat gelapnya menonjolkan warna giginya yang super putih. Dia seperti Ken yang baru saja berjemur selama 2 hari berturut-turut.

Lee tersenyum dan meletakkan pisau dan garpunya.

Biasanya dia sangat menyukai steak tapi duduk bersama Ryan selam sepuluh menit sudah membuatnya kehilangan selera makan. Padahal dihadapannya kini tergeletak pasrah Delmonico Steak, salah satu menu andalan yang ada di Jack Gibbons Garden. Ini adalah makanan kesukaan Lee.

Jari Ryan yang panjang langsung menggapai kaca mata Lee. "Kau tahu kau tidak perlu menunggunakannya, bukan?" katanya lirih sambil meletakkan kacamata Lee di meja makan.

Lee mengumpat dalam hati karena tidak dapat melihat dengan jelas. Ia cepat-cepat tersipu malu. "Begitukah menurutmu?"

Ryan menganguk dan menggenggam tangan Lee. "Aku ingin kita pergi ke tempatku sekarang."

"Aku sudah memesan kamar hotel."

"Batalkan."

"Tapi..."

"Batalkan, Katherine," rayu Ryan. Dia mengenal Lee sebagai Katherine Lynn. Seorang guru yang sedang menghabiskan waktu liburannya untuk bermain dengannya. Lee berhasil menjebak Ryan melalui sosial media. Sangat mudah membuatnya masuk ke dalam perangkap dikarenakan Ryan pada dasarnya bodoh.

"Baiklah, " Lee berusaha tidak membantah.

"Itu gadis kesukaanku," Ryan tersenyum dan mengecup tangan Lee.

Lee berusaha untuk tidak risih.

Ryan tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari balik kantong blazernya. Tampak sebuah gelang emas dengan bandul berbentuk angka 18.

Lee mencoba menebak dalam hati. Apakah itu berarti dia akan menjadi korban ke-18nya?

Lee kembali mengingat-ingat berkas milik Meghan Rhinnon. Dia merupakan pasiennya yang berusia 19 tahun dan merupakan anak seorang pemuka agama katolik terkenal, Darryl Rhinnon dan istrinya Angelica.

Tingkat depresi Meghan yang semakin buruk mengantarkannya kepada Lee dimana ia nyaris saja kehilangan nyawa karena memotong urat nadinya sendiri. Untungnya dokter bedah yang menangani Meghan merupakan teman dekat Geraldine sehinga dia memberikan saran pada Suami Istri Rhinnon untuk berkonsultasi dengan Geraldine.

Hasil pengecekan dari Geraldine justru menunjukkan tingkat depresi Meghan diperparah dengan upaya kedua orang tuanya yang meyakini bahwa anaknya tengah dirasuki oleh iblis. Meghan diisolasi dan diperlakukan layaknya bukan manusia. Geraldine kemudian menugaskan Lee untuk merawat Meghan.

Perlu waktu hampir satu bulan bagi Lee untuk membuka diri Meghan dan mengetahui rahasia tergelapnya.

"Kau menyukainya?" Suara Ryan terdengar jelas di telinga Lee. Laki-laki itu berdiri di belakang Lee.

Lee bergidik ngeri.

Kini keduanya sudah tiba di apartemen Ryan dan laki-laki itu tengah menunjukkan kamar dimana Lee bisa tinggal.

Kamar berdinding dan beratapkan cermin. Ada sebuah tempat tidur besar dengan sprei berwarna platinum dan lemari di pojok dengan warna senada. Selebihnya tidak ada barang apapun.

"Ini sangat...seksi," Lee menoleh kepada Ryan dan mengedikkan matanya.

"Aku akan membawakan sesuatu untukmu, " kata Ryan,  lembut.  "Duduklah di tempat tidur. Aku akan kembali dalam waktu lima menit."

Lee menganguk dan membiarkan Ryan pergi. Sementara menunggu,  dia pun mulai menyalakan spy hidden detecternya. Dalam hitungan detik,  ia berhasil menemukan beberapa kamera tersembunyi di berbagai sudut ruangan.

Lee mengumpat dalam hati.

“Baiklahh, aku kembali."

Ryan masuk tepat pada saat Lee berhasil menyelipkan detectornya ke dalam tas tangannya. Lee berbalik dan tersenyun menyambut Ryan. “Aku merindukanmu.”

Ryan menjatuhkan bungkusan cokelat yang dibawanya. Beberapa lembar kostum jatuh berserakan di lantai.

“Merangkaklah kemari,” kata Ryan, suaranya menjadi dingin.

Lee berhenti tersenyum, “Apa?”

“Aku bilang merangkaklah kemari!” Suara Ryan  tiba-tiba menggelengar dan terdengar sangat marah.“Aku bilang merangkaklah kemari!”, ulangnya. “Apa kau tuli?!”

Lee terdiam di tempatnya.

Ryan menjadi tidak sabaran.

Dia segera berjalan cepat ke arah Lee. Pandangan matanya begitu tajam dan cuping hidungnya kembang kempis.

Lee segera mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya ke kepala Ryan.

Melihat itu Ryan terdiam sebentar.

“Berlutut,” perintah Lee, dingin. “Aku tidak main-main.”

Ryan tertawa, “Apakah ini bagian dari trikmu, Sayang?” tiba – tiba dia menjadi perayu kembali. Bagaimana bisa ia berubah begitu cepat?

Lee menembakkan pelurunya ke lutut kiri dan kanan Ryan.

Ryan menjerit kesakitan dan terduduk tak berdaya. “ Apa yang kau lakukan?!”

“Menembakmu.”

“Kau perempuan gila! Siapa kau sebenarnya!”

Lee menembak lagi, kali ini ke arah kedua tangan Ryan.

Ryan melolong kesakitan dan jatuh terjerembap bersimbah darah.

Lee menyimpan kembali pistolnya dan mengeluarkan ganjanya. Dengan santai dia duduk di samping Ryan yang sedang tersiksa.

“Kau tahu, aku sangat senang kau memasang peredam suara. Tidak akan ada yang bisa mendengarmu sama sekali disini.”

Ryan menangis sesegukan. “Kau gila!”

Lee menyudut punggung tangan Ryan dengan ujung ganjanya. “Kau tahu, kadang orang gila tidak menyadari bahwa dirinya gila.”

Ryan menjerit minta tolong. “Kau cukup lembek untuk ukuran laki-laki,” gumam Lee sambil menikmati ganjanya.

“Apa yang kau mau!”, jerit Ryan, frustasi. “Uang? Aku punya banyak uang!”

Lee menoleh dan tertawa, “Kau pikir kau bisa menyuapku dengan uang?”

“Aku bersumpah akan membunuhmu!”
Lee menatap keji Ryan.

”Lakukanlah, " tantang Lee.  "Aku punya banyak waktu untuk menunggumu kehabisan darah dan mati.”

Ryan menangis sambil berusaha menggerakkan badannya menjauh.

Lee hanya duduk dan memperhatikannya. Sepertinya dia hanya akan butuh beberapa linting ganja untuk menemaninya menunggu Ryan kehilangan nyawanya.“Hei, kau mau menghisap ganja denganku?” tanyanya pada Ryan yang terus menjerit minta tolong. “Percayalah itu akan memudahkanmu untuk menghadapi kematian.”

“Kau gila! Kau perempuan gila!!! “

Lee tertawa sambil menghisap kembali ganjanya dengan tenang.

***

- Selamat Pagi,  dr. Biel

Amalia Fr

Comments

Popular Posts