Bab 1 - Suami Istri Biel
Musim Semi, tahun 1984.
Angin berhembus cukup kencang, membuat dedaunan yang lemah terpaksa melepaskan genggamannya pada ranting pepohonan yang bercabang. Beberapa helai daun tersebut akhirnya jatuh bertumpuk di pekarangan rumah milik suami istri Biel.
Suami istri Biel merupakan pasangan muda yang memutuskan untuk tinggal bertiga dengan anak semata wayangnya di Alabama. Mereka tinggal di sebuah rumah dengan aksen selatan yang menggunakan batu bata merah untuk dindingnya.
Tidak seperti biasanya, malam itu, Frank dan Adelaine Biel tidak segera mematikan lampu ruang keluarga padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Keduanya hanya duduk terdiam. Hal yang bertolak berlakang dengan kebiasaan mereka yang biasanya akan membicarakan apapun sebelum tidur.
"Bagaimana jika itu benar?"
Adelaine akhirnya membuka percakapan. Dia seorang perempuan muda dengan rambut kuning keemasan dan kulit putih pucat. Wajahnya tegang saat melihat suaminya, Frank, yang berbeda sepuluh tahun usianya.
Frank melepas kacamata baca perseginya. Daritadi ia hanya sibuk melamun, memperhatikan ranting pepohonan yang terus mengetuk jendela di ruang keluarganya yang besar. Ia menatap istrinya, tidak sanggup memberikan jawaban. Padahal biasanya dia benci sekali jika tidak bisa menjawab pertanyaan dari istrinya tersebut.
"Katakan sesuatu, Frank," Adelaine berkata lagi. "Saat ini bukan waktunya berdiam diri."
Frank tetap tidak menjawab dan malah mengarahkan pandangannya ke jam dinding tua yang sangat disukainya. Jam itu merupakan salah satu peninggalan tertua milik keluarga besarnya yang secara tradisi akan diserahkan kepada generasi berikutnya. Ia menjadi sedih ketika memikirkan tidak adanya kemungkinan untuk menyerahkan jam itu kepada anak cucunya.
Frank kemudian mengalihkan pandangan matanya pada anak perempuannya yang tertidur pulas di pangkuan Adelaine. Lee. Begitulah ia memberikan namanya kepada si anak. Dalam Bahasa Latin , Lee merupakan bentuk lain dari Leo yang berarti singa. Frank sangat berharap bahwa nantinya anaknya akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang tangguh.
Frank menghela napas dengan begitu susah. Akankah dia memiliki kesempatan untuk merubah semuanya? Tentang masa depan keluarga kecilnya ini? Dia sangat ingin mempercayai adanya mukjizat namun dia tahu bahwa hal itu tidaklah nyata. Tidak ada yang bisa dilakukannya kini selain menerima kenyataan yang dibencinya.
"Jadi, kapan dia akan tiba?" Adelaine terus memburu suaminya. Dia tidak ingin diabaikan.
Frank melihat ke arah jam dindingnya dan beranjak dari kursi goyangnya. Usianya masih 35 tahun tapi dia merasa sudah sangat tua dan lelah."Kita tidak punya banyak waktu lagi. Tolong bangunkan dia sekarang."
Adelaine memberikan sorot mata yang menunjukkan bahwa dia tidak setuju dengan instruksi suaminya.
"Kita harus membuat keputusan. Apa kau setuju denganku, Ade?" Frank bertanya dengan nada yang tegas.
Adelaine tiba-tiba menangis. Ia sepertinya sudah menahan air matanya berjam-jam untuk tidak keluar dari kedua mata birunya yang cemerlang.
Frank ingin sekali duduk di samping istrinya. Ia sama sekali tidak ingin membuatnya menangis. Tapi kali ini ia merasa tidak berdaya untuk menghadapi kenyataan yang akan mereka hadapi bersama. " Inilah yang terbaik. Percayalah."
Adelaine menganguk dan berusaha menenangkan dirinya. Dengan susah payah ia mencoba menghapus air mata yang membanjiri pipinya yang cekung.
Seandainya ada cara lain, Frank berharap dalam hati sambil memperhatikan istri dan anaknya.
Adelaine pelan-pelan membangunkan malaikat kecilnya. Dia merasa sangat bersalah ketika melihat kedua mata kecil berwarna cokelat berpendar dengan malas.
"Ada apa, Mommy?" Suaranya yang begitu manja keluar dari mulut Lee yang kecil bewarna merah muda.
Adelaine berusaha untuk tersenyum meskipun jauh di lubuk hatinya , dia sangat ingin menangis. "Saatnya bermain," ucapnya, serak.
Frank berdiri di belakang istrinya. Tangannya yang besar memegang pundak istrinya yang gemetar menahan emosi yang bergejolak. Adelaine membalas dengan meremas tangan suaminya dengan kuat.
"Tapi aku mengantuk," gerutu Lee. " Bagaimana kalau besok saja?"
Adelaine memperhatikan anak perempuannya dengan seksama. Meskipun masih berusia lima tahun, anaknya sudah pintar untuk menyatakan pendapatnya sendiri. Adelaine akhirnya memiliki alasan untuk tersenyum. Dia membelai rambut Lee yang berwarna hitam legam dan panjang sebahu. Ia yakin Lee akan tumbuh menjadi seorang gadis yang luar biasa. Seandainya saja dia punya kesempatan untuk melihatnya tumbuh. Pasti akan sangat menyenangkan untuk mendengarkan celotehan cerdas anak perempuannya itu.
"Saatnya kita bermain petak umpat," Frank mengambil alih. Dia mengeluarkan boneka beruang kesayangan Lee, Mr. Poppins.
Lee memeluk bonekanya dengan sayang, " Baiklah kalau begitu," ujarnya, mulai tertarik.
"Kali ini kami yang bersembunyi dan kau akan menghitung sampai 50. Setuju?" Frank mulai mengajak Lee bernegoisasi.
Lee langsung menjulurkan tangannya. Seperti rekanan bisnis, ia berjabat tangan dengan ayahnya. Lalu dengan cepat ia berlari pergi, keluar dari ruang keluarga. Menuju dapur. Di belakangnya Frank dan Adelaine berjalan sambil berpegangan tangan dengan wajah sedih.
"Oke, aku siap," Lee berbalik dan menatap kedua orang tuanya.
"Jadi, kau bisa menghitung sampai 50?" Frank membungkuk. Ia berbicara lembut kepada Lee.
"Kenapa tidak?" Balas Lee.
Frank tersenyum sambil membuka lemari tersembunyi yang ada di belakang lemari pendingin. Sebuah tempat yang sudah dipersiapkan olehnya sejak mereka pindah ke rumah itu dua tahun yang lalu. Dia tahu waktunya akan tiba. Waktu yang akan mengakhiri mereka. Tapi setidaknya dia tahu bahwa malam ini, ada satu nyawa yang tertolong karena lemari tersembunyi itu.
Adelaine tersenyum,"Kalau begitu teruslah menghitung. Jangan berhenti sampai Michael memanggilmu."
"Kenapa?"
"Karena dia akan membantumu menemukan kami."
"Dia ikut bermain juga?"
"Ya, dia akan datang sebentar lagi untuk membantumu."
"Bagaimana jika dia tidak datang?"
"Dia pasti akan datang, sayang."
Lee berhenti berdebat. "Mommy?," Panggilnya.
Adelaine memberikan senyumannya yang paling hangat yang bisa ia lakukan saat itu. "Kau tahu bahwa kami selalu mencintamu, Sayang?"
Lee tersenyum, " Tentu saja. Bagaimana mungkin kalian tidak mencintaiku?"
Adelaine tertawa dan langsung mengecup kening Lee. "Ingatlah selalu itu," ucapnya, lembut. " Nah, mulailah menghitung sekarang. Satu, dua, tiga."
Pintu lemari pun tertutup.
Segalanya menjadi gelap.
***
Selamat Pagi, dr. Biel!
Amalia FR
Comments
Post a Comment