Bab 1 - Keinginan Karupta
"Apakah kau yakin?"
Aslan mencoba memastikan untuk terakhir kalinya.
Sang gadis berambut merah itu menganguk dengan sangat terpaksa.
"Ini akan menyakitkan. Apa kau tahu itu?" Sekali lagi Aslan mencoba menggoyahkan keinginan si gadis.
Si gadis bernama Karupta dan dia merangkul tangan Aslan dengan erat. Pelan-pelan dia menyenderkan kepalanya di bahu Aslan.
"Aku siap menanggung apapun itu. Lakukanlah."
"Bagaimana jika ini salah?"
"Maka nasibku yang sial."
"Semuanya tidak akan bisa kembali seperti sedia kala."
Karupta menghela napas sambil terus menatap ke dinding kaca. Memperhatikan sosok di luar sana yang tengah asik bercengkerama dengan beberapa orang.
"Aku memilih untuk menyudahinya. Tidak ada yang lebih menyedihkan selain melihat seseorang yang kau kasihi kesepian namun kau tahu bukan kau yang dibutuhkannya. Lalu kau merasa kesal sendiri karena tidak bisa melakukan apa apa untuk membuatnya menikmati dunia."
Aslan mengusap kepala Karupta. Ini adalah tugas sehari-harinya: menghancurkan hati seseorang. Dia mengutuk para Eros yang tidak bertanggung jawab dan selalu merengek kepada Aphrodite untuk melakukan ekspansi. Mereka menembakkan panahnya membabi buta tanpa sadar itu berdampak sangat buruk pada manusia yang rapuh.
"Kau mencintainya?" Aslan merogoh kantongnya sambil mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Karupta menatap Aslan dengan pandangan yang terluka. "Aku mencintainya," katanya pelan. "Namun rasa ini semakin hari semakin membuatku sesak. Aku tidak bisa bernapas. Aku melihatnya dan dia selalu membuatku jatuh lagi dan lagi tiap kali aku bangkit dan mencoba bertahan."
Aslan menatap Karupta dan dia bisa merasakan dirinya mengalami dilema. Waktu tidak muncul dan kini dia sendirian. Mencoba memutuskan jalan hidup seorang manusia.
Aslan menatap ke dinding kaca melihat sosok yang dilihat Karupta. Sosok itu memang terlihat sama terlukanya. Aslan tidak pernah punya pengetahuan mengenai luka bagi seseorang yang tak pernah memanggilnya. Sepertinya sosok itu masih cukup kuat mengatasi lukanya.
"Aslan, bisakah kau menyelamatkanku?" Karupta memecah keheningan yang tercipta sesaat akibat lamunan Aslan yang tak berarti.
"Baiklah," Aslan menganguk dan melepaskan sarung tangan kulitnya. Tangannya yang berwarna keperakan berpendar.
Karupta seolah mengerti apa yang diinginkan Aslan, ia kemudian memutuskan maju selangkah dan membelakangi Aslan.
"Baiklah, bertahanlah," bisik Aslan lirih. Ia pelan pelan mendekatkan tangan kirinya ke punggung Karupta. Ia bisa merasakannya. Sebuah panah kecil tak kasat mata yang terasa begitu hangat. Eros benar-benar kejam, pikir Aslan. Ia pelan pelan menarik panah itu.
Karupta menjerit kesakitan. Aslan tak bisa berhenti. Ia pun terus menariknya, kali ini lebih kuat. Karupta langsung jatuh terduduk ketika ujung panah berhasil dikeluarkan.
Aslan langsung mematahkan panah berwarna keemasan milik Eros dan segera mendekati Karupta yang tampak pucat."Kau baik baik saja?" tanyanya.
Karupta tertawa lepas dengan air mata membasahi wajahnya. "Rasanya luar biasa. Ini sangat melegakan!"
Aslan menatap sedih.
Karupta segera berlari memeluk Aslan. "Terima kasih."
Belum sempat Aslan menjawab, Karupta sudah berlari pergi meninggalkannya.
"Semudah itukah?"
Aslan menoleh ketika mendengar seseorang bicara di belakangnya.
Tidak sekarang, pikir Aslan dalam hati.
Seorang Eros yang dikenal Aslan dengan sangat baik muncul bersama alat panahnya. Matanya yang biru jernih tampak begitu bersemangat saat melihat Aslan.
"Apa yang kau lakukan disini?" Aslan berusaha untuk tidak bersahabat.
Eros menunjukkan busur emas yang berada di balik punggungnya yang bersayap. "Aku kehabisan panah dan kupikir kau akan memberikan panah itu kepadaku. Tapi ternyata kau merusaknya."
"Maaf, itu sudah bagian dari tugas kami sebagai perusak. Kami menghancurkan apapun yang kalian bidik."
"Kenapa harus menghancurkan sesuatu yang indah?" Eros terbang ke arah pohon dan duduk dengan anggun di salah satu dahannya .
"Karena kalian menciptakan sesuatu yang indah namun tidak bermanfaat untuk manusia. Alih alih mereka saling mencinta, kalian membuatnya saling melukai diri sendiri."
Eros menggeleng. "Manusialah yang mempersulit dirinya sendiri. Inilah ironisnya. Manusia tidak pernah bersabar dan ingin segera mendapatkan apa yang diinginkannya. Begitu sesuatu yang diinginkannya gagal didapatkan, mereka akan merengek untuk segera mengakhiri apa yang belum dimulai. Kau lihat gadis itu? Aku baru saja memanah pujaan hatinya. Tapi lihatlah, ia sudah memanggilmu dan mematikan rasanya. Kenapa dia tidak menunggu waktu?"
Aslan terdiam. "Aku rasa kau pun harus mengerti satu hal."
Eros tampak tertarik. "Apa itu?"
"Belajarlah bertanggungjawab atas apa yang kalian lakukan dengan panah kalian."
Eros tersenyum. "Kita tidak pernah bisa bersahabat lagi, bukan?"
Aslan tidak menjawab dan memakai sarung tangan kulitnya kembali. Menyembunyikan tangan perak yang didapatkan dari kutukan Aphrodite. Ini adalah kutukan yang diberikan pada para Eros pembangkang yang memutuskan untuk tidak lagi tertarik memanah hati manusia.
Eros terbang meninggalkan dahan. "Selamat, kau akan menghancurkan hati pujaan gadis itu."
Aslan mendengus. Bagaimana caranya dapat menyentuhnya tanpa terkena kutukan yang lebih menyakitkan dari Aphrodite?
***
Amalia FR
Comments
Post a Comment