Bab 17 - Penjara
Bangunan itu tertutup langit gelap.
Aku memperhatikan beberapa jendelanya diterangi lampu yang terang, beberapa jendela tertutup dengan tirai, beberapa jendela diterangi dengan pencahayaan temaram, dan beberapa lainnya tampak terdapat orang sedang berinteraksi.
Pemandangan yang tidak menarik dengan langit yang tidak lagi berbintang.
Segalanya menjadi suram.
"Aku akan mati dalam waktu dekat ini."
Kataku , memutuskan.
Laki-laki di depanku yang sedang sibuk bermain ponsel seperti biasanya, akhirnya mendongak.
Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Kami berdua sangat berbeda dan satu-satunya kesamaan yang kami miliki adalah bahwa kami memutuskan untuk mengakhiri hidup dalam waktu dekat.
Sementara ia menghabiskan waktu yang tersisa dengan melakukan hal-hal yang mungkin dapat membantu banyak orang, aku hanya menunggu keadaan menjadi semakin buruk dan tidak terkendali. Dengan begitu aku akan secara spontan mengakhiri hidupku sendiri.
"Jika itu memang sudah kau putuskan, lakukanlah."
Katanya menanggapi keputusanku.
Aku pikir dengan dirinya yang sudah berada di lingkungan dimana orang-orang mengalami tingkat depresi beragam dan mengucapkan kata-kata "bunuh diri" berulang kali , pada akhirnya telah membuatnya lebih manusiawi dalam merespon.
Pada akhirnya ia tidak lagi mencoba melakukan pencegahan dengan cara yang biasanya orang lain lakukan. Mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Bahwa melakukan bunuh diri itu dosa dan bahwa aku akan masuk neraka. Bahwa bunuh diri adalah sesuatu yang lemah.
Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku mendukung bunuh diri. Aku hanya sepakat bunuh diri dapat dilakukan jika itu sudah menjadi keputusan yang bersangkutan.
Kadang ada keadaan dimana seseorang memang tidak dapat lagi bertahan pada kerasnya kehidupan yang dialami. Ini bisa menjadi racun yang menggerogoti diri dari dalam. Karena semakin ia dipaksa untuk bertahan, maka semakin ia tersiksa.
Mungkin bagi sebagian orang lain bahwa mereka ini adalah pecundang. Tapi siapa yang tahu apa yang benar-benar dialaminya setiap hari? Apa yang harus dilakukannya hanya untuk bangkit dari tempat tidurnya dan menjalani kehidupan sehari-hari? Bertemu dengan orang lain, terlibat kegiatan, menghadapi sebuah situasi.
Tidak ada yang benar-benar tahu.
Mungkin sebagian dari mereka sudah mati di dalam dan bunuh diri hanyalah untuk validasi formal yang menyatakan pada orang sekitarnya bahwa dia memang sudah mati.
Tapi meskipun begitu, menurutku ada beberapa orang yang menyalahgunakan kata-kata "bunuh diri" ini. Jelas pernyataan ini dapat diperdebatkan karena tidak ada bukti yang mendukung. Sehingga hal ini tidak dapat menjadi pembenaran.
Ini hanyalah asumsi pribadiku yang tak berdasar. Dimana aku berpikir bahwa sebagian orang mulai menjadikan "bunuh diri" sebagai kata-kata yang menenangkan ketika segalanya di luar kendali. Ini menjadi semacam penenang sekaligus pengalihan sesaat selain obat-obatan terlarang dan minuman keras.
Memikirkan "bunuh diri" terkadang dapat memberikan suatu harapan untuk seseorang yang tengah terpuruk. Ini dapat membuat dirinya terbuai pada khayalan betapa segalanya menjadi menarik ketika ia mati. Bagaimana mungkin akan terdapat suatu perubahan akibat kematiannya. Bagaimana sekitarnya akan bereaksi. Mungkin nantinya mereka akan menyesal. Mungkin mereka akan membuat sesuatu untuk menghormati kematiannya. Mungkin ia akhirnya tidak perlu lagi membayar tunggakan cicilannya. Mungkin ia tidak akan lagi menjadi subyek penghakiman orang-orang sekitarnya.
Selain itu menurutku, ada pula beberapa orang yang memutuskan menggunakan kata-kata "bunuh diri" untuk mendapatkan simpati orang lain. Agar semua orang bersatu padu menghiburnya, memperhatikannya. Panik karenanya. Ia menjadi sedikit kecanduan dengan reaksi itu sehingga jika hal biasa yang dia lakukan tidak dapat menarik perhatian orang lain, maka ia akan mengucapkan kata-kata luar biasa itu untuk mendapatkan respon seperti yang diharapkannya. Ia mungkin bisa dengan tenang mengatakan bahwa dirinya dalam keadaan yang baik-baik saja ketika orang lain menjadi panik karena baru mendengar keinginannya untuk mengakhiri hidupnya. Ia bisa tertawa ringan. Tapi siapa yang tahu maksud hatinya? Toh kini kata - kata "I'm fine" juga dapat berarti "Save me."
Lalu , ada pula orang-orang yang menggunakan kata-kata bunuh diri hanya untuk menekan orang lain agar tetap bersamanya.
Setidaknya salah satu "mantan pasanganku" pernah mengancamku dengan kata-kata itu. Ia mengatakan padaku bahwa jika aku tidak menurutinya apalagi meninggalkannya maka dia akan bunuh diri. Tidak hanya itu saja, dalam wasiat bunuh dirinya maka dia akan menyalahkanku sebagai orang yang membuatnya melakukan hal tersebut.
Untuk beberapa lama aku percaya padanya dan memutuskan untuk mengikuti segala kemauannya. Aku tidak ingin ia melukai dirinya apalagi sampai mati dan memasukkanku ke dalam penjara.
Tapi semakin lama aku mengikutinya, semakin aku membencinya. Aku merasa ia mengikatku dengan kata-kata itu. Aku tidak lagi bahagia dan lelah untuk terus mengikutinya.
Suatu ketika ia pernah memintaku pulang lebih awal untuk dapat menemaninya. Saat itu aku menolak karena aku harus menyelesaikan pekerjaanku. Ia tidak suka penolakanku dan mengancamku dengan kata-kata magisnya.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengikutinya. Aku pun berbohong sakit kepada atasanku yang tampaknya tidak percaya karena sebelumnya aku tampak sehat-sehat saja. Tapi aku meyakinkannya sampai akhirnya atasanku menyerah dan mengizinkanku meninggalkan kantor beberapa jam lebih cepat.
Selama dalam perjalanan, aku hanya berusaha menahan tangisku. Aku sudah kelelahan secara emosional dan tidak tahan lagi. Aku ingat sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku di sebuah jalur bis. Mungkin aku bisa menabrakkan diriku saat salah satu bisa tersebut melintas cepat di jalurnya.
Satu-satunya yang menghentikanku saat itu adalah kenyataan bahwa aku tidak berani melakukannya. Aku hanya takut cara itu gagal dan aku justru menjadi cacat.
Dua buah keironisan bagaimana seseorang yang menggunakan kata bunuh diri justru membuat orang lain ingin melakukan bunuh diri. Serta bagaimana seorang yang selalu berpikir untuk bunuh diri namun tetap tidak berani melakukannya meskipun ada alasan yang cukup tepat untuk itu.
Pada akhirnya aku berpikir bahwa apa yang kualami ini tidak lagi sehat untuk dibiarkan berlanjut.
Jadi, dengan segala keberanian yang kumiliki saat itu, aku memutuskan untuk tidak ingin lagi menurutinya. Aku harus berjuang mencari cara untuk melepaskan diriku.
Pada saat itu aku tidak memiliki orang lain untuk menolongku. Pasanganku adalah satu-satunya orang yang kupercaya. Jadi, ini menjadi sesuatu yang berat untukku. Mencari jalan keluar sendiri.
Tapi apa yang dilakukannya kali itu membuatku yakin akan menjadi senjatanya untuk lebih memaksaku untuk menurutinya di lain kesempatan. Jadi, pada satu waktu, akhirnya keberanianku muncul melebihi ketakutanku yang secara menetap menghantui hari-hariku. Pada saat itu aku tidak lagi peduli bahwa dia akan bunuh diri dan akan membuatku masuk penjara.
Aku menyimpan semua percakapannya sebagai bahan bukti dan aku siap jika pihak berwajib akan menangkapku. Setidaknya aku punya seorang paman yang merupakan hakim. Jadi, mungkin dia bisa memberikan rekomendasi pengacara untuk mendampingiku.
"Aku akan melukai tanganku sekarang juga dan ini semua karena salahmu!"
Aku bisa mendengar jeritan histeris dari ponselku ketika aku akhirnya mengatakan bahwa aku ingin mengakhiri hubunganku dengannya. Aku ingin dia menjauhiku.
Tangan dan suaraku gemetar hebat dan aku mulai menangis ketika ia menangis. Aku ingat aku bahkan sampai memohon padanya untuk membiarkanku pergi. Kali ini aku tidak ingin mengalah. Aku ingin memperjuangkan kebebasanku darinya. Jadi sekuat apapun ia menahanku, aku akan jauh lebih kuat melawannya.
Akhirnya, ia lelah dan menyerah.
Ia setuju meninggalkanku seorang diri.
Pada saat itu aku merasa badai yang telah lama kualami akhirnya berhenti seketika. Aku terkesima bahwa ternyata aku berhasil keluar dari penjara terkutuk itu.
Sesaat aku merasa sangat bahagia. Aku menikmati segalanya dengan rasa syukur. Aku bisa merasakan awan tampak begitu cantik. Langit menjadi begitu biru. Makanan terasa begitu nikmat.
Tapi yang tidak kusadari kemudian adalah penjara yang dibuatnya untukku meninggalkan bekas yang mendalam di dalam kepalaku. Aku nyaris gila untuk dapat menikmati apa yang kudapatkan saat ini. Kebebasanku. Aku tidak mau jatuh ke dalam keadaan yang sama. Ke lubang yang sama.
Jadi , selain kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, aku sadar bahwa aku kehilangan kepercayaan atas penilaianku terhadap orang lain. Itu sebabnya meskipun aku terbebas dari penjara terkutuk itu, di saat bersamaan aku mulai membuat penjara untuk diriku sendiri. Aku mengunci diriku dan dunia kecilku agar tidak ada lagi orang lain yang melukaiku.
Aku tidak ingin kembali ke tempat dimana aku berada pada keadaan tak berdaya.
Aku tidak ingin.
Jadi seperti yang kulakukan pada semua orang yang kutemui sesudahnya, aku akhirnya melakukan hal yang sama pada laki-laki di depanku ini.
Aku tidak pernah benar-benar mengenalnya. Meskipun ia kelihatan bersahabat dan tenang, aku selalu tidak berani menatap kedua matanya. Entah kenapa kedua matanya memancarkan kesedihan yang mendalam.
Meskipun semua orang bahkan dirinya mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan pada kenyataannya dirinya bahagia, aku selalu berpikir bahwa dirinya sedang mengunci dirinya yang lain dan karenanya ia menjadi begitu terluka. Karenanya ia kerap bersedih.
Aku pernah beberapa kali mendengarkan ceritanya tapi aku tidak pernah benar benar tahu di tahap mana dalam kehidupannya ia menahan dirinya yang lain.
Sayangnya pada saat itu, aku sudah mulai tidak percaya dengan penilaianku atas orang lain. Aku bisa saja menjadi begitu berlebihan. Mungkin dia baik-baik saja dan aku memproyeksikan rasa tidak baik-baikku kepadanya, meskipun di dalam kepalaku muncul pertanyaan berulang : kenapa dia ingin mati?
Tapi alih-alih aku menghabiskan waktuku untuk menggali lebih dalam tentang apa yang terjadi padanya, aku melihatnya mulai mendekat dan mendapatkan sedikit tempat yang nyaman di dunia kecilku. Aku melihat hal ini sebagai suatu ancaman dan aku harus mengeluarkannya.
Jadi , akhirnya saat itu juga aku memintanya pergi.
Kami baru saja selesai menikmati makan malam dan aku justru berkata, "pergi dan jangan pernah kembali".
Aku bisa melihatnya sedikit bingung.
"Lakukan saja," kataku.
Tak lama aku melihatnya beranjak pergi, meskipun setelah beberapa langkah , kedua kakinya sempat terhenti. Ia terlihat ingin menoleh dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi aku bukanlah seseorang yang dapat menjelaskan sesuatu dengan baik. Aku sudah terlalu lelah untuk itu. Jadi, yang dapat kulakukan adalah menjadi dingin dan jahat.
Untuk sebagian orang, menjadi seperti itu adalah sesuatu yang buruk. Tapi bagiku itu adalah sesuatu yang dapat dimaklumi.
Aku akan mati dan akan lebih mudah bagi orang lain untuk mendengar kematianku sebagai sesuatu yang melegakan bukan sebagai sesuatu yang membuat mereka menderita karena kehilangan.
Itu sebabnya aku mulai benar-benar menjauhi interaksi dengan siapapun. Aku pikir aku hanya ingin menjadi seorang yang tak terlihat dan tak punya hati. Seluruh interaksi yang kumiliki dangkal dan singkat.
Jadi, saat itu aku hanya menatapnya. Meskipun sempat ragu, ia mulai melangkahkan kakinya kembali. Pelan-pelan tapi pasti sosoknya pun mulai menjauh dan tak terlihat.
Jauh di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap aku telah cukup melukainya dan membuatnya tidak ingin kembali lagi ke duniaku.
Bab 17, Penjara, Jurnal 30, AFR
Comments
Post a Comment