Bab 9 : Gelembung
Aku membuka kedua mataku.
Pagi telah menyapa. Aku bisa melihatnya dari jendela kamarku. Hal ini dikarenakan aku lupa menutupnya dengan tirai abu-abu kesukaanku itu.
Tirai yang selalu kutarik agar aku bisa bersembunyi sejenak dari kerasnya kehidupan.
Aku menatap ke langit - langit kamarku yang putih . Ada sebuah lampu besar yang berpendar remang keemasan di tengah -tengahnya.
Aku tidak ingin segera bergerak.
Aku merasa sangat lelah. Perutku terasa mual. Mataku bengkak dan kerongkonganku sakit.
Tidak ada perasaan damai seperti yang kau lihat pada potongan film. Bahwa hari baru itu ada dan menyenangkan. Damai. Membuat sang pemain tampak menemukan apa yang diinginkannya.
Tidak.
Aku baru saja terbangun dari mimpi burukku. Mimpi yang merupakan bagian dari kenyataan yang kulalui seorang diri. Mimpi terkelam yang nyaris menghilangkan diriku.
Aku masih dapat melihat bungkusan obat-obatan di dekat bantal yang kutiduri.
Perutku terasa semakin mual karenanya.
Aku pun menyingkirkan sisa obat-obatan itu. Membiarkannya jatuh begitu saja ke lantai.
Aku kemudian memeluk diriku sendiri.
Bagaimanapun juga aku baru saja selamat dari salah satu badai yang nyaris mengaburkan pandanganku tentang kehidupan ini.
Aku memutuskan untuk tidak mati. Aku memutuskan untuk hidup. Lalu apa?
Aku tak punya tuhan, aku tak punya pedoman hidup. Menyadari hal tersebut membuatku memahami bahwa keberadaanku ada hanya karena aku memutuskan untuk bertahan hidup. Bertahan di sebuah tempat yang tidak dirancang sepenuhnya untuk manusia.
Tidak ada misi khusus.
Tidak ada makna yang menggugah.
Tidak ada.
Sebagian orang mungkin akan merasa kecewa karenanya. Kecewa karena ternyata keberadaan mereka tidaklah sepenting apa yang tercantum pada lembaran-lembaran yang mereka sucikan. Yang mereka yakini.
Apakah itu menjadi sesuatu yang buruk jika ternyata memang tidak arti apapun tentang keberadaan kita?
Bahwa kita hanyalah sebuah organisme kecil yang hidup di sebuah planet kecil pada alam semesta yang tak terbatas ini?
Haruskah kita mengelabui diri kita tentang segala gambaran fantastis dan pentingnya keberadaan kita?
Padahal kita bukanlah apa-apa ketika diare menyerang. Atau minimal sekedar menderita flu yang berkepanjangan.
Tapi kita menjadi begitu insecure dan menginginkan sebuah pembenaran tentang keberadaan kita.
Kita perlu diingatkan lagi dan lagi dengan doktrin tak masuk akal, gambaran yang diciptakan manusia yang tidak tahu apa-apa tapi bersikeras mengatakan ia tahu segala hal.
Aku tidak tahu apa-apa.
Itu adalah salah satu kenyataan yang akhirnya kuakui. Sebelumnya aku sama seperti mereka. Aku adalah seorang manusia yang merasa tahu apa itu kehidupan. Apa itu alam semesta.
Aku selalu menjadi salah satu murid terbaik, bukan?
Tapi nyatanya nilai yang kudapatkan dari sebuah lembaga buatan manusia tidaklah bisa membantuku untuk memahami siapa aku, untuk apa aku berada di sini, kenapa aku harus terus bertahan setiap harinya atau bahkan apa yabg terjadi padaku ketika aku memutuskan untuk tidak lagi ingin bertahan.
Sejujurnya, aku merasa sedang berada di sebuah perjalanan. Perjalanan yang panjang menuju sebuah rumah. Aku selalu merasa harus menemukan rumah itu. Tapi aku tahu rumah itu bukanlah surga seperti yang mereka bicarakan.
Rumah, mungkin adalah sebuah tempat atau keadaan dimana kita tidak perlu takut menjadi siapa kita. Meskipun pada kenyataannya , sebagian besar dari kita tidak benar-benar bisa menjadi diri kita sendiri di rumah.
Tapi mungkin, obsesiku terhadap rumah hanyalah karena masa kecilku dihabiskan dari satu kota ke kota lainnya. Tidak ada tempat tinggal tetap dan itu akhirnya membuatku menjadi gelisah.
Aku bukanlah seorang yang mampu beradaptasi dengan cepat. Aku hanya tertarik untuk berubah jika aku berada di situasi dan kondisi yang memaksaku begitu. Inilah kekurangan lainnya yang harus kuatasi.
Aku pikir aku terlalu sering berada di sebuah gelembung kenyamanan ciptaan kedua orang tuaku. Gelembung yang menjauhkanku dari apapun yang membuatku terluka.
Tapi apakah menghindari diri dari rasa terluka itu baik?
Terluka mungkin adalah sesuatu yang ingin dihindari semua orang, meskipun ada sebagian dari mereka yang tanpa sadari ternyata menikmati keadaan tersebut.
Menjadi "korban" kemudian membiarkan orang berbondong-bondong datang untuk memberikan simpatinya
Sebagian orang pada akhirnya menjadi kecanduan pada keadaan tersebut, tenggelam dan tidak ingin kembali ke permukaan.
Aku merupakan salah satunya. Dengan begitu aku bisa memastikan bahwa aku punya kesempatan untuk melimpahkan tanggungjawabku atas diriku pada orang lain. Membiarkan mereka mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya hanya untuk merawatku. Memperhatikanku.
Bukankah aku cukup atau sangat ... egois?
Mungkin, dan karenanya perlahan tapi pasti aku mulai menghentikan kebiasaanku untuk mengeksploitasi traumaku.
Aku tidak bisa lagi menjadikan traumaku untuk membuat orang lain tinggal di sekitarku. Itu tidak lagi menjadi sesuatu yang sehat karena aku mulai memaksa mereka untuk mementingkan diriku dibandingkan diri mereka sendiri.
Mereka bukanlah pengasuhku. Mereka bukanlah orang-orang yang berada di unit gawat darurat yang akan siap sedia untuk menolongku kapanpun aku membutuhkan.
Tidak.
Itu sebabnya aku ingin keluar dari gelembung itu. Gelembung itu nyatanya membingungkanku dan merusakku dari dalam. Tapi aku tahu, untuk dapat keluar dari gelembung itu, maka aku harus membuka pintunya yang terkunci.
Kunci yang kubutuhkan ada pada sebuah gudang kecil di dalam kepalaku. Gudang lusuh yang tidak ingin kudatangi.
Gudang itu bahkan tidak terkunci.
Tapi ketakutanku telah mengunci diriku darinya.
Aku tahu, bahwa jika aku membuka pintu itu berarti aku harus berhadapan dengan berbagai sosok diriku sendiri. Yang terpecah pada suatu masa tiap kali aku tidak tahan dengan perasaan yang tidak nyaman di diriku.
Bagiku, tidak ada yang lebih mengerikan selain berhadapan dengan dirimu sendiri. Kau tidak bisa berbohong. Kau akan menjadi telanjang dengan segala aib yang menempel di kulit. Kau tidak bisa mengatakan bahwa itu bukanlah kesalahanmu. Kau akan dipaksa untuk mengakui bahwa kau punya tanggung jawab atas apa yang menimpa dirimu juga. Bahwa kau tidak bisa terus menerus bersembunyi di balik punggung orang lain, berharap hanya mereka yang punya andil untuk merusak dan memperbaikimu.
Pelan-pelan aku menatap diriku di cermin yang terpampang dengan tegas di samping tempat tidurku.
Apakah aku cukup siap menghadapi diriku sendiri?
Bab 9, Jurnal 30, AFR
Comments
Post a Comment