Bab 15: Ucapann yang cantik
Oh tidak, tidak.
Ini sebuah kabupaten sebenarnya.
Ah , aku bisa melihat diriku.
Malam ini adalah malam terakhirku di Sampit. Besok, aku dan keluargaku akan pergi meninggalkannya.
Aku akan kembali ke Jakarta bersama ibu dan adikku, sementara ayahku pergi ke Sulawesi. Ia ditugaskan untuk fokus membenahi keuangan disana. Ibuku akan menyusul bersama adikku setelah aku lulus SMA dan menemukan universitas yang tepat.
Aku ingat, pada malam itu, orang tuaku dan adikku sedang pergi . Aku memutuskan sendirian di rumah. Aku sedang sibuk membenahi barang-barangku. Hampir semuanya tentang Harry Potter yang berhasil kukumpulkan selama tiga tahun di sini.
Pada awal meninggalkan Jakarta, aku merasa sangat sedih karena harus pergi ke tempat ini. Sebuah tempat yang sempat menjadi fokus dunia karena konflik berdarahnya.
Ayahku ditugaskan untuk bekerja di tempat ini tepat satu tahun setelah konflik itu berakhir. Ia tidak bisa menolak jika ingin tetap mengembangkan karirnya.
Akhirnya aku terpaksa meninggalkan kehidupan remaja yang cukup menyenangkan di Jakarta untuk tumbuh menjadi seorang yang asing sekali lagi. Ini ketiga kalinya aku menjadi anak baru.
Sejauh ini aku menyukainya , menjadi anak baru, karena aku berhasil mendapatkan teman-teman yang membuatku tertawa. Setidaknya di kabupaten ini, aku memiliki satu sahabat.
Kami bertemu saat aku menjadi anak pindahan di salah satu sekolah unggulan di sini. Kelas menengah pertama. Kami beda kelas dan saat itu dia tidak menyukaiku. Sementara itu, aku tidak sadar dia ada.
Tapi siapa sangka karena kami sama-sama melanjutkan ke sekolah yang sama ketika di menengah atas, kami pun akhirnya menjadi teman sekelas dan menjadi dekat.
Kami menjadi dekat meskipun saat itu kami memiliki kelompok bermain yang berbeda di sekolah. Pada saat itu justru kelompok kami kerap bersinggungan. Saat itu aku berada di kelompok pemain basket dan anggota cheerleader. Oh, mereka semya perempuan dan hampir semua orang menyukai mereka , terutama laki-laki. Kelompok yang cukup populer di sekolah.
Berbeda dengan anggota kelompokku, saat itu aku lebih fokus pada majalah dinding sekolah. Aku dan team di sekolahku saat itu mendapatkan juara dua sekabupaten dalam kontes majalah dinding antar sekolah menengah atas. Selain itu, dikarenakan aku lebih tinggi sedikit dibandingkan murid perempuan lainnya, aku pun ditunjuk untuk mengikuti Tim Paskribraka untuk mewakili sekolah untuk ikut serta pawai di hari kemerdekaan. Seluruh sekolah berpartisipasi dari berbagai tingkatan.
Sejujurnya tidak ingin bergabung. Tapi sialnya, pelatih tim langsung menemui ibuku untuk meminta izin. Kebetulan rumahku berada tepat di depan sekolah. Aku hanya butuh beberapa langkah untuk sampai ke sana meskipun saat itu aku lebih suka ikut mobil ayahku.
Saat itu ibuku memutuskan tidak membelaku dan kemudian memberikan izin. Jadilah aku harus bergabung dengan tim ini bersama sahabatku itu. Kami menjadi dekat karena akhirnya mau tidak mau kami harus berinteraksi. Siapa sangka ternyata seseorang yang kau anggap musuh ternyata dapat menjadi sahabat dekat.
Meskipun pada acara utamanya timku tidak menang karena salah satu anggota pingsan tepat di depan kantor ayahku, pada akhirnya aku cukup senang bahwa aku berhasil memiliki sahabat dekat, lebih dekat dengan kelompok bermainku.
Kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama. Sebagian besar di rumahku. Saat itu kota kecil ini tidak menawarkan tempat yang nyaman untuk para remaja bersantai. Tidak ada mal, bioskop, toko buku bahkan indomaret. Tidak ada angkutan umum juga. Kau bisa pergi ke manapun dengan sepeda atau motor karena jarak yang telalu dekat. Itu sebabnya, kemudian alun-alun kota atau pinggiran jalan menuju perbatasan menjadi tempat berkumpulnya remaja. Tapi tempat perbatasan lebih dari sekedar tempat tongkrongan. Terkadang ada hal-hal yang tidak baik terjadi disana. Kadang itu menjadi tempat untuk berkelahi antar kelompok, entah itu kelompok perempuan atau laki-laki.
Aku ingat pada akhirnya kelompokku dan sahabat baruku bersinggungan secara fisik dan itu terjadi tepat di pekarangan rumahku. Ibuku sampai keluar dan melerai dua orabg teman sekolahku yang berkelahi sementara aku hanya duduk menangis , terkejut melihat dua orang perempuan muda saling pukul sekeras yang mereka bisa. Untungnya keduanya masih memakai helm masing-masing.
Bisa dibilang, Ibuku saat itu cukup aktif untuk campur tangan dengan duniaku. Selain melerai perkelahian , ia juga orang tua yang berani mendatangi sekolah untuk membela anak tetanggaku yang juga satu sekolah denganku.
Anak itu dari kalangan berada tapi dia memiliki sedikit kekurangan yang mengakibatkan hampir semua anak di sekolah memperlakukannya dengan buruk. Namanya Lina dan kelompokku tidak menyukainya. Itu sebabnya aku menjaga jarak dengannya meskipun rumah kami hanya berjarak satu rumah saja.
Suatu hari, Lina bercerita pada ibuku bahwa ia baru saja meminum paramex dan Sprite . Ia merasa sudah tidak tahan lagi menerima perlakuan dari teman-teman sekelasnya. Ia ingin mati.
Besok siangnya, aku mendengar dari anak sekolah lainnya bahwa ibuku baru saja mendatangi kelas Lina dan meminta anak-anak di sana untuk tidak berlaku buruk padanya.
Sejak saat itu aku pun mulai mempertanyakan posisiku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa terus diam dan membiarkan orang lain diperlakukan buruk? Aku ingat pernah membaca All-American Girl (Pahlawan Amerika) karangan Meg Cabot.
Pada novel itu, Cabot mencoba mengangkat isu perundungan. Bagaimana mereka yang memilih untuk dia sama ketika perundungan terjadi, sama buruknya dengan para pelaku perundungan tersebut. Mereka secara tidak sengaja memberi ruangan untuk pelaku melakulan hal buruk sesuka hatinya.
Bagaimanapun juga aku merupakan bagian dari rantai setan itu. Jadi ketika salah satu anggota kelompokku membicarakan orang lain dengan merendahkannya, aku menegurnya dan membuat mereka kaget.
Biasanya aku tidak pernah menentang mereka tapi kali itu aku sudah muak. Aku mulai mengutarakan apa yang tidak aku sepakati namun di saat bersamaan mulai menjauhi mereka. Untungnya aku memiliki Rita. Sahabat baruku.
Ia sering bermain ke rumahku dan kadang kami pergi berkeliling dengan motornyaatau sekedar berkumpul dengan satu kelompok laki-laki dari sekolah lain.
Saat itu aku tertarik dengan pemimpin kelompok itu. Aku melihatnya di acara cerdas cermat yang diadakan sekolahku. Sekolahku sedang berulang tahun dan merayakannya dengan acara seni , olahraga dan adu kecerdasan.
Laki-laki ini berasal dari sekolah saingan, unggulan nomor dua dan populer di kalangan perempuan di sekolahku. Aku melihatnya dan aku pikir aku langsung menyukainya. Aku menginginkannya.
Ternyata adiknya adalah seorang cheerleader dan ia dekat dengan kelompokku. Jadilah suatu hari aku berkenalan dengannya.
Dengan cepat, ia dan kelompoknya menjadi dekat denganku dan Rita. Mereka bahkan suka mendatangi rumahku dan kenal baik dengan kedua orang tuaku.
Tapi ironisnya laki-laki ini jugalah yang memicu pertengkaran di pekarangan rumahku itu. Yang dilerai ibuku.
Anggota kelompok Rita mendekati laki-laki ini dan kelompokku tidak senang meskipun sang laki laki sepertinya suka mendekati siapa saja dan menerima segala kesempatan yang ada.
Pada akhirnya aku menjauhi laki-laki dan kelompok itu. Di saat bersamaan aku mulai dekay kembali dengan anggota kelompokku. Rita juga menjadi dekat dengan mereka.
Hubunganku dengan teman-teman sekelasku cukup dekat. Mereka menjulukiku "lumba-lumba." Sebuah julukan yang diberikan dari teman sekelasku juga.
Jika kau tidak mengenalnya dengan dekat, maka kau akan mengira dia adalah seorang laki-laki yang pendiam. Tapi sebenarnya, dia cukup berisik dan suka meledek. Sialnya di saat yang bersamaan, aku diam-diam menyukainya. Meskipun dia sudah memiliki pasangan, aku tetap senang berinteraksi dengannya
Mike benar, aku pernah bahagia. Bisa dibilang saat itu merupakan tahun-tahun terbaikku.
Aku dapat dengan mudah menjalani kehidupanku meskipun melalui cara yang sederhana.
Setidaknya, aku memiliki orang-orang yang mau menghabiskan waktunya denganku.
Aku ingat. Dua hari sebelumnya, anggota kelompokku membawaku ke rumah temen sekelasku lainnya. Hampir semua teman sekelasku berkumpul. Kami hanya ingin merayakan perpisahaan karena sebentar lagi kenaikan kelas. Kami mendokumentasikannya dengan terbahak-bahak.
Itu sebabnya pada malam terakhirku, aku memutuskan untuk tidak pergi dengan keluargaku. Aku hanya ingin menikmati segala momen yang ada.
Menariknya, alam sepertinya berbaik hati denganku. Listrik tiba-tiba padam. Biasanya aku akan segera mencari lilin. Tapi kali ini aku lebih tertarik keluar dan duduk di tangga teras.
Aku segera terpukau dengan pekatnya langit malam itu yang ditaburi bintang berkilat terang dan kontras.
Aku melihatnya sambil tersenyum.
Itu adalah cara kota ini mengucapkan selamat tinggalnya padaku.
Pelan-pelan aku yang sekarang duduk bersama diriku yang berusia sekitar 17 tahun. Aku melihatnya dengan sayang.
Aku tahu bahwa versi mudaku mengakui bahwa esok ia akan masuk ke dalam babak baru.
Babak kelam karena ia akan kembali ke rumah yang sebenarnya. Rumah yang ia benci karena tidak berisi kehangatan melainkan kebencian.
Ia masih memiliki waktu kurang dari ahun untuk bertahan. Tapi berkumpul kembali di rumah yang sebenarnya bukanlah hal yang diimpikannya.
Ia tahu itu akan menjadi pemicu untuk pelan-pelan mengunci dirinya.
Aku bisa melihatnya. Dia berancang-ancang untuk mematikan rasa dan membuat dirinya menjadi autopilot.
Aku pun tahu, bahwa itu merupakab awal aku mulai kehilangan diriku.
Bab 15, ucapan yang cantik, AFR, Junal 30
Comments
Post a Comment