Bab 12 : Gudang Lusuh
DTidak ada pilihan lain, pikirku.
Aku tidak bisa menunggu orang lain menemaniku.
Aku harus melakukannya sendiri.
Tanganku dengan gemetar membuka pintu gudang lusuh itu.
Ruangan itu gelap.
Kemudian aku bisa melihat potongan kenangan pamanku yang baru saja memberitahu ibuku tentang sesuatu. Lalu aku bisa melihat ibuku menjadi histeris.
Kemudian aku bisa melihat potongan lagit yang berwarna jingga. Matahari yang terbenam.
Kemudian aku melihat seorang anak kecil di sebuah ruangan yang temaram. Duduk sendirian di antara para orang dewasa yang sibuk membacakan doa dalam bahasa asing yang tak kuketahui artinya.
Anak kecil ini adalah aku berusia kurang lebih empat tahun. Entahlah. Dia duduk sendirian, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Di depannya terbaring seseorang yang akrab dengannya. Tapi ia tidak mengerti mengapa orang itu hanya diam saja.
Ia kemudian melihat ibunya yang biasanya tampak kuat, kali ini harus didampingi beberapa orang yang terus menghuburnya.
Aku pelan-pelan memutuskan duduk di samping anak kecil yang kebingungan ini. Aku menatapnya sedih dan kemudian aku merangkulnya.
"Itu kakek, dia sudah pergi untuk selama-lamanya," bisikku. "Relakan dia pergi."
Aku mengusap punggung anak itu dan merangkulnya.
Aku ingat sosoknya.
Ia seorang dengan mata sipit dan wajahnga penuh keriput. Umurnya masih belum mencapai 60 tahun tapi tubuhky kecil ringkih. Ia ramah kepada siapa saja. Lepaskanlah ia di suatu tempat, maka ia akan berhasil mengobrol dengan dua tiga orang sambil terbahak-bahak.
Ia seorang petani dan tukang. Satu-satunya alasan keluarga nenekku membiarkannya bergabung adalah karena darah birunya.
Nenekku yang kala itu tengah jatuh cinta dengan laki-laki yang memiliki pekerjaan yang lebih mapan, pada akhirnya mendapatkan laki-laki seperti kakekku yang tidak memiliki penghasilan tetap.
Keluarga kakekku berada namun sialnya kakekku adalah seorang yang ingin menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Ia menolak bantuan keluarga dan memutuskan ingin membangun rumah untuk anak cucunya sendirian.
Nenekku sebenarnya sudah memiliki rumah gadang. Rumah yang dibuat atas permintaannya kepada ibunya waktu kecil. Tapi karena kakekku yang keras kepala, nenekku terpaksa harus memasukkan kaki mulusnya ke dalam tanah berlumpur untuk menanam padi.
Ia merupakan seorang gadis yang lembut dan penurut yang terbiasa tinggal di asrama. Menikmati buku dan mengikuti acara sosial yang ada. Tinggal bersama kakekku merupakan hal yang cukup memberatkan untukknya.
Mereka berdua masihlah muda. Dengan satu orang berambisi untuk membangun sebuah rumah. Tapi pada akhirnya nenekku memutuskan membantu suaminya. Mereka kerja keras mengolah sawah.
Beberapa orang mengatakan pada mereka bahwa apa yang mereka kerjakan sia-sia. Tapi kakekku suka menanggapinya dengan ikut tertawa bersama mereka.
Meskipun begitu satu per satu karung semen dan bebatuan mulai terkumpul. Tak lama jadilah sebuah rumah kecil terbuat dari semen dan bata tanpa cat dan ubin biasa yang dingin.
Meskipun begitu, aku selalu senang berada di rumah itu. Tiap kali aku mengunjungi mereka, maka mereka akan menyambut dengan hangat. Aku lebih menyukai rumah kecil itu dibandingkan rumah gadang yang meskipun terisi dengan banyak hal tapi terasa begitu kosong.
Kakekku selalu bilang bahwa rumah ini belum selesai dan akan menjadi lebih baik lagi. Dengan begitu aku dan anak cucu lainnya dapat tinggal dengan nyaman disini. Aku percaya padanya.
Aku merupakan salah satu cucu kesayangan kakekku. Aku adalah sosok yang dinantikannya ada sebagai penerus garis keturunan suku.
Biasanya ketika anak cucuknya berkumpul bersama, maka ia akan mengajak kami semua berpetualang ke sawah, kebun atau sekedar memancing. Tidak ada rasa sedih dan hanya gelak tawa.
Mike benar, aku pernah bahagia.
Aku pernah memiliki seseorang yang menyayangiku. Yang menantikan keberadaanku.
Melihatnya tak bernyawa membuatku tenggelam dalam kesedihan dan kemarahan yang tak terungkap.
Aku melihat diriku yang masih kecil ini tidak menangis. Padahal aku selalu menangis untuk hal apapun kala itu.
Jadi sebagaia gantinya aku menangis di sebelahnya. Meratapi kepergian satu-satunya orang yang membuat kehidupan ini begitu menyenangkan.
Rasa yang kupendam bertahun-tahun keluar bagaikan tsunami.
Kenapa kau pergi?
Kenapa kau pergi padahal kau yang memintaku datang?
Kenapa kau memilih rokok itu dibandingkan aku?
Kau mungkin adalah orang yang menyayangiku tapi di saat yang bersamaan kau adalah orang yang menjebloskanku pada sebuah dunia yang keras ini sendirian.
Bagaimana mungkin kau membiarkan aku tumbuh tanpa arah?
Kau satu-satunya orang paling egois yang pernah aku temui
Tapi aku tetap menyayangimu
Aku merindukanmu
Aku berharap kau masih hidup untuk memperbaiki keadaan.
Ada dua keputusan bodohmu yang merusak hidupku.
Kau yang tetap memilih rokokmu yang akhirnya membuat kanker itu menghancurkan paru parumu
Kau yang memutuskan ibuku lebih baik menikah dengan seorang laki-laki yang kau anggap layak menjadi pendamping hidupnya padahal ia masih ingin berkembang dan mengejar impiannya
Kau seorang dewasa yang ceroboh yang membuat orang lain celaka dan menderita
Kau pikir kau mampu mengetahui apa yang terjadi di masa depan padahal kau tidak tahu apa-apa
Bertahun-tahun aku bersedih dan marah karena kaulah salah satu penyebabnya
Jadi, ini adalah bagian dari kesalahanmu juga.
Bukan sepenuhnya salahku.
Aku mendengarnya dari mereka bahwa kau pun menyesali keputusan-keputusan itu, tapi kanker itu sudah menyiksamu dan tidak memberikanmu kesempatan untuk memperbaiki kesalahanmu
Kau berakhir dalam penyesalan
Itu sebabnya meskipun aku membencimu, aku tetap menyayangimu.
Bagaimanapun juga kau hanyalah manusia biasa yang berharap tahu apa yang terbaik.
Kau hanya mengikuti aturan standar apa yang terbaik di masamu saat itu.
Aku tak bisa menyalahkanmu sepenuhnya.
Kita hanyalah korban dari aturan-aturan suci para pendahulu yang kadang semuanya tidaklah seindah yang ada dalam benak mereka.
Jadi, izinkanlah aku mengucapkan selamat tinggal.
Aku tidak tahu kau ada dimana sekarang dan apakah kita akan bertemu kembali,
Tapi aku senang kita pernah bertemu di dunia ini dan menghabiskan waktu dengan cara yang sederhana tapi menyenangkan
Kini aku akan memperbaiki kesalahanmu
Karena ini akan menjadi kesalahanku juga jika aku tidak melakukan apa-apa
Aku masih hidup dan aku punya waktu untuk memperbaikinya sedikit demi sedikit
Rumah yang kau buat? Oh, sekarang sudah menjadi jauh lebih indah. Istrimu melanjutkannya dengan hasil dari panen sawah kalian berdua.
Tapi jangan khawatir, aku akan tetap membantu merawat rumah itu.
Bagaimanapun juga, usaha kalian berdua luar biasa.
Jadi kuucapkan terima kasihku dengan tulus.
Terima kasih telah memiliki impian untuk membahagiakan kami. Impian yang membuat kalian menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran untuk mewujudkannya.
Jadi beristirahatlah dengan tenang.
Tugasmu akan kami lanjutkan dengan cara kami masing-masing tapi ditambahkan dengan sedikit gaya keras kepalamu.
Aku menoleh pada diriku sendiri. Aku mengelus kepalanya dan menepuk bahunya yang kecil.
Dia mungkin tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Tapi dia akan mengerti berpuluh-puluh tahun kemudian.
Aku tersenyum padanya. Aku tahu pada akhirnya dia bisa mengatasinya.
Jadi, kuucapkan selamat tinggal pada gadis kecil yang kebingungan ini.
Kau sudah besar dan akan mulai mengerti sekarang tentang apa yang terjadi pada kehidupanmu sebenarnya.
Bertahanlah.
Bab 12, Gudang Lusuh, Jurnal 30, AFR
Comments
Post a Comment