Bab 16 - Rossa, Rio
Aku kembali ke rumah.
Tapi aku membenci rumah ini.
Aku meninggalkannya ketika aku masih berusia lima tahun. Pada saat itu aku dan keluargaku harus mengikuti ayahku yang ditugaskan untuk pergi ke Pati. Rumah ini kemudian disewakan ke orang lain sampai kakak laki-lakiku mengambil alih. Ia tidak ikut kami ke Sampit karena sudah kuliah dan akhirnya rumah itu tidak lagi disewakan.
Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa mencintai rumah ini. Ketika memasukinya, segalanya terasa kelam. Penuh kebencian. Dingin. Sementara itu jika aku pergi keluar , maka tidak banyak orang sepantaranku.
Aku sudah mencoba membentengi diriku sendiri sebelum menginjakan kakiku di rumah ini, tapi nyatanya segala hal yang buruk itu tetap merasuki isi kepalaku.
Ada kemarahan dan kesedihan yang bercampur aduk. Sialnya, semuanya tertahan di dalam kepalaku dan aku tidak bisa mengutarakannya sama sekali.
Pernah suatu kali aku mencoba untuk keluar rumah. Saat itu aku baru saja membeli kudapan dari sebuah toko kelontong dekat rumahku dan hendak pulang, tiba-tiba aku menemukan sosok anak laki-laki yang sepantaran denganku. Lebih muda setahun sebenarnya. Dia tidak tinggi dan badannya kurus dengan kulit kuning langsat. Rambutnya terpotong rapih, berwarna kecokelatan. Alisnya tebal menghiasi kedua mata elangnya yang meskipun tajam tapi terlihat sendu.
Pada saat itu aku melihatnya sedang duduk di depan pintu rumahnya. Aku bisa melihatnya dari sela-sela pagar rumahnya yang berwarna hitam. Aku berpikir , apa yang ia lakukan disitu seorang diri dan kenapa menutup kedua telinganya?
Dalam hitungan beberapa detik , aku bisa mendengar suara pecahan piring dari dalam rumahnya dan suara orang yang sedang berselisih.
Ah.
Sesaat aku ingin berhenti dan membuka pintu pagar rumahnya dan menanyakan apakah dia baik-baik saja. Alih-alih aku melakukannya, aku justru terus berjalan dan pura-pura tidak melihat serta mendengar.
Tak banyak yang bisa kulakukan , pikirku.
Hal yang ironis bagaimana kami tinggal beberapa rumah tapi tak pernah saling berkenalan. Hingga saat ini kami tidak pernah berbicara. Padahal setiap kami berangkat sekolah, kami kerap berpapasan. Aku yang bersiap-siap menunggu kakak laki-lakiku mengantarkanku ke sekolah dan dia yang membawa motornya sendiri.
Kadang kami saling menukar senyum , kadang kami hanya saling menunduk atau kadang hanya melihat ke arah lain.
Interaksi mata kami yang paling lama hanyalah ketika aku keluar dari mobil untuk membuka pagar rumah. Saat itu aku , ibuku dan adikku baru saja pulang dari pusat perbelanjaan.
Aku bisa melihatnya sedang mencuci mobil ayahnya. Tapi saat itu dia terlihat begitu ceria. Itu pertama kalinya aku melihatnya tidak bersedih dan kami
saling bertatapan sebelum ibuku memanggilku , mengingatkanku untuk membuka pintu pagar. Padahal saat itu aku nyaris tertular senyuman manisnya.
Ah ,seandainya ada cara untuk mengenalnya, pikirku. Tapi sayangnya aku tidak pernah punya banyak waktu dan kesempatan untuk mengenalnya. Lagipula aku pikir dia tidak akan menyukaiku. Jadi, dapat dikatakan bahwa ini hanyalah perasaan sepihak.
Meskipun begitu aku tetap menyukainya. Dia satu-satunya kesenangan kecil yang kumiliki kala itu.
Jadi, ketika melihatnya duduk sendirian di depan pintu itu, aku pun menjadi sedih. Aku bersedih karena ia bersedih dan aku tak melakukan apa-apa untuk menghiburnya.
Dalam isi kepalaku, kemudian muncul pertanyaan yang berulang : apakah dia juga membenci rumahnya?
Ah, itu dia.
Aku yang saat ini menunggu aku yang berusia 17 tahun yang baru saja melewati anak laki-laki itu.
Aku melihatnya berjalan seperti tanpa kesadaran. Seperti robot. Sekilas aku bisa melihat bahwa kedua matanya kosong. Hampa. Sepertinya ia sudah jauh masuk ke dalam dunia kecilnya untuk kembali bersembunyi dari kenyataan yang ada.
Ia yang tadinya kerap tertawa riang. Dikelilingi oleh banyak orang, kini sendirian, masuk ke dalam tempat yang paling ia takuti.
Aku merasa sedih untuknya.
Jadi, aku mengikutinya ke tempat itu.
Ia masuk ke dalam kamar dan duduk fi ranjangnya. Aku pun memilih untuk duduk menemaninya.
Pelan-pelan kurangkul ia dan kututup kedua mataku. Kubayangkan ia dan anak laki-laki yang duduk di depan pintu rumahnya seorang diri itu. Kubayangkan aku merangkul keduanya.
Pelan-pelan aku pun mulai menyanyikan sebuah lagu yang sengaja kubuat sendiri saat itu. Lagu yang kubuat untuk memberi semangat untuk diriku sendiri. Lagu yang menemaniku dalam menjalani hari-hariku tanpa teman ketika segalanya menjadi gelap.
Rossa, Rio
Stop hiding yourself, you don't have to be afraid
Rossa, Rio
I want you to know, that I am here for you
And I will not forget
And I will be there
You call me, I will come
But I want you to fight
Rossa, Rio
Life isn't easy, you have to be more stronger
And don't you crying now because I will be there
Fighting always for you
And I will not forget,
And I will be there
You call me, I will come
But I want you to fight
Hey, don't let yourself down tonight
Life is hard sometimes
It's time for you to be tough
Say yes you can, because you can
And life is more brighter, if you want to feel it
So you don't have to hide
You have to face it
You will be fine
You will be fine
Rossa, Rio
Stop thinking you can't
I know you can if you try
Aku membuka kedua mataku dan menoleh pada diriku itu.
Ia tidak bisa mendengarku. Ia tidak bisa melihatku.
Lagu itu bukanlah sebuah lagu yang luar biasa. Liriknya hanyalah buatan anak sekolah menengah atas yang tidaklah apik. Tapi itu merupakan bagian dari isi hatinya yang paling dalam.
Kau lihat? Bisikku padanya.
Akhirnya aku datang, bukan?
***
Bab 16, Rossa Rio, Jurnal 30, AFR
Comments
Post a Comment