Bab 14 - Bukan Lagi Musuh
"Gejala batu ginjal?"
Aku mengulang perkataan dokter yang baru saja membacakan hasil tes darah, urin dan USGku.
Sang dokter mencoba tersenyum simpatik seraya menjelaskan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Ia menawarkan satu lembar resep berisikan banyak obat untuk kuminum. Ia juga memintaku untuk kembali beberapa hari lagi agar dapat menjalani rangkaian tes lebih lanjut.
Aku mengalami keram yang konsisten di bagian perutku dan aku merasakan nyeri di bagian kiri dan kanannya. Hasil USG menunjukkan adanya serpihan pasir yang mulai berkumpul di dasar kedua ginjalku. Itu sebabnya pada akhirnya aku mengalami pendarahan dan rasa sakit pada saat buang air kecil.
Hal ini dikarenakan kurangnya aku untuk mengkonsumsi air serta kerap menahan buang air kecil. Namun di saat bersamaan aku memakan banyak makanan yang mengandung garam dan bahan pengawet lainnya.
Aku kesulitan buang air dan minum karena pekerjaanku membuatku harus tetap berada di depan komputer. Jadi, aku menyalahkan pekerjaanku itu, meskipun pada akhirnya aku juga menyalahkan kebiasaanku yang mengabaikan pentingnya air untuk tubuhku.
Setelah mendengarkan kata-kata penghibur, aku berjalan keluar dari ruang praktik dokterku yang wajahnya mirip Miriam Bellina. Ia berusia sekitar 40 tahunan tapi dengan lugas memberikan penjelasan yang menenangkan. Aku merasa sedikit tenang karenanya jika boleh jujur. Tadinya aku cukup panik karena beberapa orang langsung mengatakan hal buruk betapa bahayanya apa yang kualami. Ironisnya mereka sendiri bukanlah dokter dan hanya mendapatkan informasi dari internet.
Ketika sampai, aku mendapati ramainya antrian untuk pengambilan obat dari apoteker rumah sakit itu. Aku segera mencari tempat yang agak jauh dari antrian setelah meletakkan resep hanya untuk mencerna penjelasan sang dokter. Aku mengambil tempat di lobi utama , beberapa langkah dari ruang tunggu apoteker. Di sudut tempat itu ada sebuah pohon natal yang besar dengan kotak hadiah warna - warni. Lampunya mulai menyala bergantian. Perayaan natal sudah mulai dirasakan meskipun ini masihlah akhir November.
Ponselku berbunyi ketika aku sedang sibuk memikirkan apakah kotak di bawah pohon itu terdapat isinya ataukah tidak.
"Hei."
Seorang laki-laki terdengar lemah tapi juga khawatir ketika aku menjawab panggilan itu. Ia memang sedang berada di kamarnya, terkena flu berat dan aku sempat menceritakan padanya bahwa aku sedang pergi ke rumah sakit.
Rumahnya jauh tapi dia terus memaksa untuk menemaniku. Namun mengetahui keadaannya, aku berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa aku akan segera pulang dan beristirahat. Tapi yang ia tidak ketahui adalah bahwa ketika mengatakannya, mataky sudah berkaca-kaca. Pada kenyataannya, aku ingin menangis karena terharu . Ya, terharu karena ada seseorang yang ingin melakukan sesuatu seperti itu.
Di saat semua orang terdekatku begitu sibuk tanpa mau menghabiskan waktu sedikit saja menanyakan keadaanku, ada seseorang yang bahkan tidak begitu kukenal dengan baik ingin menghabiskan waktunya menemaniku. Itu sesuatu yang baru bagiku. Tapi pada akhirnya aku membuatnya menyerah dan kembali beristirahat.
Bagaimanapun juga aku ingin sendirian. Aku hanya ingin bersandar pada sesuatu saat itu. Jadi, aku hanya bersandar ke sofa yang empuk itu. Aku merasa tubuhku tenggelam ke dalam dan membiarkan sang sofa memelukku. Sambil merasakan kenyamanan itu, aku memperhatikan pohon natal kembali. Pelan-pelan aku membiarkan pikiranku terbang jauh.
Sesungguhnha , Alaku sudah mulai terbiasa seorang diri ketika sedang sakit. Terakhir kali aku dirawat di rumah sakit, aku berada sendirian di sebuah kamar selama beberapa hari. Tidak ada yang mendampingiku ketika malam.
Saat itu aku sedang terkena Demam Berdarah untuk kedua kalinya. Belajar dari sebelumnya, aku memutuskan agar tidak ada seorang pun yang harus menginap. Mereka bisa datang di jam-jam mereka tidak sibuk saja. Lagipula rumahku tidak jauh dari rumah sakit tempatku dirawat. Jadi mereka sebenarnya dapat segara datang jika sesuatu yang darurat menimpaku.
Aku hanya tidak suka membuat orang lain terpaksa menghabiskan waktu dengan menungguku. Aku tidak suka mendengar mereka membatalkan janjinya dan menjadikan aku sebagai penyebabnya. Itu rasanya tidak menyenangka .
Aku ingat bahwa aku berdebat dengan ibuku saat itu.
Beberapa hari sebelumnya, ia sudah memiliki rencana dengan kelompoknya untuk pergi ke luar kota. Kelompoknya ini sangat bergantung dengan kehadirannya. Tiap kali ibuku menolak, maka deringan telepon untuk membujuknya pergi mulai berdatangan. Lagi dan lagi Sampai akhirnya aku muak dan meminta ibuku pergi bersama teman-temannya saja.
Itu yang kau mau? Pergilah.
Aku ingat ketika itu ibuku pergi meninggalkan kamarku dengan menangis tersedu-sedu.
Aku tahu aku menyakiti perasaannya dan keluargaku langsung mengkritik apa yang baru saja kulakukan padanya. Sepertinya ia langsung menceritakan apa yang dialaminya kepada anggota keluargaku lainnya.
Aku paham bahwa aku melakukan sesuatu yang berlebihan, tapi saat itu aku tidak tertarik menjadi beban orang lain dan membuat mereka terpaksa harus bersamaku.
Aku tidak suka keterpaksaan karena aku tahu rasanya menjadi terpaksa. Jadi, aku memilih menjadi "si jahat" untuk memudahkan mereka terbebas dari situasi yang membuat mereka terpaksa.
Jadilah , pada hari ketigaku di rumah sakit, kuhabiskan sendirian dan aku menolak kunjungan siapapun. Sampai sore harinya, aku yang saat itu masih diliputi kemarahan, melakukan kesalahan kecil.
Aku mengganti bajuku sendiri. Karena tidak hati-hatinya, akhirnya jarum infusku bergeser. Sialnya salah satu perawat yang datang memperbaiki bukanlah perawat yang biasa menanganiku. Ia tampak gugup dan aku tahu ada yang salah. Jarum itu menusuk tulang pada pergelangan tanganku.
Aku merasa sangat kesakitan dan melaporkannya pada si perawat tapi si perawat mengatakan semuanya baik-baik saja. Ia bahkan memperkuat plesternya. Itu membuatku semakin kesakitan. Tak lama tanganku pun membengkak. Melihat itu aku langsung memaksa si perawat untuk melepaskan jarum infus itu.
Mereka akhirnya melepaskannya setelah aku tetap bersikeras untuk melepaskannya. Pada saat itu aku sudah kelelahan secara fisik dan emosional. Aku hanya ingin pulang. Jadi mereka, melalui atasannya, memintaku untuk menandatangani sebuah form yang menyatakan bahwa aku tidak akan menuntut apa apa jika terjadi sesuatu padaku setelah infus dilepas sebelum waktunya.
Kutandatangani form itu tepat ketika ibuku datang menjenguk untuk berpamitan. Pada saat itu ia memutuskan untuk pergi bersama kelompoknya. Ketika tahu aku ingin pulang, ia tidak mendebatku dan mengantarku ke tempat tinggalku pada malam harinya.
Pada saat itu aku menyewa sebuah rumah selama beberapa bulan. Aku baru saja memutuskan berhenti bekerja dan ingin bersantai tanpa melakukan apapun. Jadi aku menyewa sebuah rumah dengan menggunakan upah kerja terakhirku. Rumahku itu tak jauh dari rumah orang tuaku.
Aku sengaja menyewa rumah karena aku tidak suka kembali ke rumah.
Jadi, akhirnya dengan keadaanku yang tidak sehat saat itu, aku tinggal sendirian di tempatku. Ibuku pergi.
Satu-satunya orang yang ada untukku saat itu ironisnya adalah adikku.
Seseorang yang selama ini justru kuanggap musuh. Saat itu dia menjadi sedikit lebih dewasa dengan mengantarkan makanan dan mengambil pakaian kotorku untuk dibawa ke tempat laundry.
Itu menjadi momen pertamaku untuk tidak lagi menganggap adikku sebagai musuh. Pada kenyataannya ia merupakan satu-satunya keluarga yang kumiliki yang tidak cepat mengikuti pengaruh keluargaku.
Ia seorang yang moderat. Sesekali ia mengingatkanku untuk beribadah tapi pada kenyataannya tidak pernah memganggapku buruk meskipun ia tahu aku tidak beragama dan bertuhan. Ia kerap menanyakan pendapatku jika sedang merasa ragu atau tidak nyaman. Ia bisa mempercayaiku.
Sejujurnya , aku cukup senang melihatnya tumbuh sebagai seorang yang tidak terbawa arus. Karenanya kupastikan padanya bahwa apapun hal buruk yang dialaminya, dia harus ingat bahwa aku tidak akan menyerangnya. Aku akan mendengarkan tapi aku tidak menjanjikan sebuah solusi meskipun aku menjanjikan untuk ada bersamanya.
Aku tahu bahwa kehidupan seorang remaja bisa sangat berat pada zaman sekarang. Aku melihat para remaja yang menderita dan terluka tapi tidak mendapatkan perlindungan dari keluarganya sendiri. Aku tidak mau itu terjadi pada adikku.
Aku ingin dia selalu tahu bahwa aku ada untuknya. Ada seseorang yang akan selalu berada di pihaknya untuk kebaikannya. Dan aku senang bahwa ia mengetahuinya dengan baik.
Bab 14, Bukan Lagi Musuh, Jurnal 30, AFR
Comments
Post a Comment