Bab 13 - Kenangan Kedua

Aku bisa merasakan betapa segarnya hari-hari itu.

Langit berwarna biru cerah dengan awan berarakan. Angin bertiup pelan, membuat padi yang tengah menghijau itu bergerak ke satu arah yang sama dengan suara gemerisik yang merdu.Seolah Ibu Pertiwi sedang bernyanyi. Bahagia.

Di antara hamparan luas padi tersebut, terdapat sebuah perumahan yang terdiri dari delapan unit rumah dengan ukuran yang sama. Dindingnya berwarna putih gading dan pintu serta jendelanya berwarna biru pucat. Di depan masing-masing rumah terdapat sebuah pekarangan kecil dengan satu pohon mangga. Lalu di bagian tengah rumah-rumah tersebut , terdapat lapangan tenis kecil.

Di depan lapangan kecilah itulah terparkir sebuah mobil charade putih keluaran tahun 1993. Di kap dan atap mobil itu terdapat beberapa anak kecil yang sedang berpose dengan senyum cerah di depan seorang ibu muda yang memegang kamera.

Aku bisa melihatnya dengan jelas. Seorang gadis kecil, dengan rambut pendek tipis dan celana legging warna ungu kesayangannya. Itu aku. Berusia enam tahun.

Tidak ada terlihat tanda-tanda ia bersedih atas kematian satu orang yang berpengaruh dalam hidupnya. Mungkin karena ia masih belum benar-benar mengerti tentang apa yang terjadi. Lagipula, ia tampak sibuk dengan teman-temannya.

Ah, itu dia.

Kini aku tahu kenapa aku menyukai Jungkook.

Jungkook mengingatkanku pada sosok anak laki-laki yang usianya lebih muda satu tahun dariku : Nugie. Dia merupakan manusia paling menyenangkan yang pernah kutemui. Ia memiliki dua buah mata yang besar dan berbinar-binar. Mata itu tampak bersahabat ketika dikombinasikan dengan senyum cerianya yang bebas lepas. Seolah dia satu-satunya manusia yang gagal ditaklukkan oleh kehidupan.

Aku ingat bahwa kami bersekolah di Taman Kanak - Kanak yang sama meskipun berbeda kelas. Tapi aku akan menangis jika Nugie tidak masuk sekolah. Aku harus dibujuk ibuku untuk tetap berada di sekolah ketimbang pulang dan bermain dengan Nugie.

Bersama Nugie, aku bermain dengan teman-teman sebayaku yang merupakan anak dari kolega ayahku yang tinggal bersama di perumahan itu. Mereka adalah Sandy dan Nita (kakak dan adik), serta Wina.

Hampir dari kami semua pergi dan berangkat sekolah bersama. Berjalan melewati rumah dan sawah serta sungai. Di antara sekolah dan perumahan kami terdapat satu tempat rawan yang harus kami lewati. Di dekat sebuah jembatan , terdapat sekumpulan soang yang akan mengejar siapapun dengan lehernya.

Aku teringat suatu hari Sandy terlalu panik saat menjauhi kejaran seekor soang. Alih-alih berlari lurus menuju perumahan kami, ia justru lari menuju ke arah sungai. Ia pun jatuh terperosok.

Sungai itu sangat dangkal tapi memiliki banyak bebatuan. Aku hanya dapat melihat Sandy terkapar dengan bingung diantara bebatuan sementara darah mulai mengucur dari kepalanya. Beberapa orang dewasa akhirnya menolongnya.

Berbeda denganku dan yang lainnya yang sangat ekspresif, Sandy seorang anak laki-laki yang tenang dan penurut. Dia sangat melindungi adik perempuannya. Usianya baru tujuh tahun tapi ia seperti orang dewasa. Pakaiannya selalu rapi, baju dimasukkan ke dalam celana, rambut tertata dengan belah pinggir yang rapi. Aku selalu menyukainya. Ia selalu menjadi "kakak laki-laki"ku meskipun aku sendiri memiliki kakak laki-laki kandung.

Saat itu bisa dibilang hubunganku dengan kakakku sangat baik. Ia selalu ikut bermain dengan kami meskipun usianya berbeda empat tahun. Ia seperti ketua geng yang membawa kami ke pom bensin tidak terpakai untuk bermain sepeda di sana.

Kadang aku suka mengikutinya pergi bermain ke sebuah lapangan besar tak jauh dari perumahan kami. Lapangan itu untuk bermain bola oleh anak anak yang tinggal di dekat situ. Tapi aku lebih suka menghabiskan waktuku bermain di pohon beringinnya.  Berjalan menjaga keseimbanganku di atas akarnya yang kokoh.

Tapi aku ingat tentang suatu kejadian yang berkaitan dengan akar beringin itu. Saat itu aku diboncengi kakakku. Tapi ia terlalu bersemangat sehingga mengayuh sepedanya dengan cepat pada saat melewati salah satu akarnya. Akibatnya, sepeda berguncang dan aku yang saat itu sedang tidak memengang kakakku dengan benar langsung melayang.

Aku jatuh terjerembap dan aku hanya melihat kakakku yang terus mengayuh sepedanya menjauh. Saat itu aku tidak berteriak, tidak pula menangis. Aku hanya duduk menunggunya. Untungnya dia segera menyadari apa yang terjadi dan kembali menjemputku.

Ah, ternyata kehidupanku saat itu bisa dibilang menyenangkan.

Tapi..., tunggu dulu.

Di samping mobil itu, berdiri nenekku menggendong seorang bayi perempuan.

Dia adikku, yang baru saja lahir.  Tapi... aku tidak menyukainya.Aku tidak menyukai keberadaannya sama sekali.

Bagaimana mungkin aku menyukai seseorang yang berpotensi mengambil segala perhatian dan kasih sayang yang ditujukan hanya untukku?

Jadi, diam-diam aku mulai memusuhi adikku.

Itu sebabnya aku duduk di tengah-tengah bersama semua orang yang kusayangi tapi aku tidak mau adikku berada di antara kami semua.

Jahatkah aku saat itu?

- Kenangan kedua, Bab 13, Jurnal 30, AFR

Comments

Popular Posts