Bab 3 - Perkenalan Pertama

Aku hanya menatapi air mancur di depanku dan menghela napas. Minggu ini sangat berat untukku. Lina menghabiskan hari-hari dengan mengunci diri di kamar tamu. Ia menjadi tidak peduli bahkan kepada Arin sekalipun. Akhirnya untuk sementara Arin tidur di kamarku dan aku merawat bocah itu semampuku.

Aku memastikannya makan tepat waktu, menyiapkan bekal, mengantar jemputnya ke sekolah serta membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Hal-hal semacam itu mungkin terdengar sepele, tapi bagi orang sepertiku yang terbiasa hidup sendiri dengan tentram, ini menghabiskan energiku. Belum lagi ditambah aku harus membaca beberapa naskah yang dikirimkan oleh para penulis yang ambisius dengan jumlah kisaran ratusan lembar. Aku hanya punya waktu maksimal empat bulan untuk memastikan apakah naskah - naskah itu layak diterbitkan menjadi sebuah novel ataukah tidak.

Tiba-tiba sebuah benda berwarna putih melayang di hadapanku. Cukup besar dan berbunyi bising. Jika itu lalat maka dia adalah lalat albino jumbo teraneh yang pernah aku temui. Ada yang berkelip di bagian bawahnya. Seperti ada lampu kecil berwarna merah yang tertempel. Ah, ternyata ada kamera kecil dibagian bawahnya.

"Keren, kan?"

Terdengar suara laki-laki dari arah kananku.

Aku menoleh dan melihatnya berdiri tak jauh dariku sambil memegang semacam remote control yang cukup besar.

"Ini namanya drone. Phantom 4. Harganya diatas gaji UMR. "

Dia tinggi dan berkacamata. Berpakaian santai dengan kaos berwarna kuning cerah, celana pendek dan sandal jepit.

Aku memilih untuk tidak menggubrisnya.

"Lo kayaknya lagi stres banget , " laki-laki itu terus berbicara sambil mengarahkan dronenya terbang di sekitarku. "Baru punya satu anak, ya?Tunggu sampe punya tiga anak, pasti nanti lo bakalan berharap masih gadis dan bisa hahahihi lagi ke mall sama temen-temen abege lo. "

"Anak? "

"Gue suka liat lo di parkiran tiap pagi sama anak kecil pake baju SD. Oh, lo babysitter , ya? "

Aku mendengus dan berusaha mengabaikannya. Orang ga jelas.

Si laki-laki bukannya pergi malah memutuskan untuk duduk di kursi taman, tepat di sebelahku.

"Tadinya gue pikir lo setan. Duduk sendirian malem - malem begini. Terus gue kirim drone gue buat mastiin itu. Untungnya belakang lo ga bolong, atas lo ga ada pakunya dan..."

Aku menoleh ke arahnya. "Hai, " sapaku sambil menyodorkan tanganku, "Kenalin, nama gue fuck off. "

Laki-laki itu tertawa. "Nama gue Tony Stark", jawabnya sambil menjabat tanganku.

"Jadi, itu bukan anak lo? " si Tony melanjutkan basa basi frontalnya.

"Menurut lo?"

"Dari tampang sih ga sama. Jadi mungkin lo antara pembantu, babysitter atau tantenya. Bener ga? "

"Tingkat kekepoan dan kesoktauan lo yang level ibu - ibu tukang rumpi ternyata ga guna ya, " balasku sengit.

"Jadi?"

"Itu anak sahabat gue. "

"Ooo sohib lo nginep sama anaknya, ya? Berarti laki-laki yang tadi ada di lobi itu suaminya? "

"Laki yang mana? " aku mengerling. "Ciri-cirinya? "

"Potongan om-om idung belang gitu. "

"Lo emang nyebelin dari lahir, ya? "

Tony KW tertawa. "Lo mo coba mainin drone, ga? Gue bisa ngajarin lo. Gampang kok. Liat nih, " katanya sambil mulai menggerakkan dronenya dengan gerakan berputar kemudian melesat ke atas.

Aku memperhatikan si lalat jumbo yang makin lama makin terlihat jauh di atas.

"Wow, " Tony terlihat tegang sendiri.

"Kenapa lo? "

"Ini pertama kalinya gue terbangin tinggi banget, " katanya sambil menurunkan drone ke ketinggian sekitar dua meter. "Untung ga kenapa-napa haha. "

Aku mendengus sambil geleng-geleng kepala.

"Eh tapi soal laki-laki itu beneran loh, " kata Tony. "Dia kayaknya nitipin sesuatu ke meja resepsionis. Ke Pak Herman. Mending lo cek deh. "

"Loh jadi itu beneran? " kataku bingung.

"Emang gue keliatan lagi bercanda? Arya something namanya, kan? "

"Kok lo ga bilang dari tadi? "

"Kan gue bilang tapi lo kayak ga peduli gitu. Yang ada malah ngina gue."

"Karena gue pikir lo bercanda, " kataku sambil berdiri.

"Gue ini tipe yang serius banget kali."

Aku mengabaikan Tony dan segera beranjak pergi ke resepsionis. Kira-kira apa yang dititipkan Arya?

"Malem, Pak Herman, " sapaku pada penjaga resepsionis yang sedang asik menonton TV. "Ada titipan buat saya ga? "

"Ada, Bu. Dari Bapak Arya. Katanya penting. Tadi saya telpon Ibu tapi ga ada yang jawab."

"Iya, saya lagi di luar tadi, Pak."

Pak Herman yang segar bugar meskipun waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam langsung menyerahkan sebuah amplop cokelat kepadaku. Tidak ada apa-apa kecuali hanya namaku yang tertera di luar.

Aku membuka amplop itu dan mencelos tajam melihat isinya. Kopian surat gugatan cerai Arya terhadap Lina.

Sial. Bagaimana cara aku menjelaskan ini kepada Lina?

- Kembaliin Suami Gue, Bab 3, AFR

Comments

Popular Posts