Bab 2 - Curhatan Arin

Aku terus menatap layar smartphoneku. Berusaha untuk mengabaikan tatapan dari sepasang mata bulat dan besar di sampingku.

Aku tahu Arin akan menjadi seorang perempuan yang pintar melakukan manipulasi kepada siapapun dengan tatapannya itu. Terutama kepada segerombolan laki-laki yang akan mengejarnya nanti. Tapi aku harus jauh lebih kuat untuk tidak terbius dengan ilusi mata dewanya itu. Bagaimanapun juga anak kecil sama seperti binatang liar yang tidak sengaja kau temukan di jalanan. Sekali kau menoleh padanya maka mereka akan mengira bahwa kau memiliki ketertarikan untuk menghabiskan waktu dengan mereka. Jadi mereka akan langsung mengikuti dan tidak ingin pergi.

"Tante lagi main Candy Crush , ya?" tebak Arin.

Aku menghela napas. Mau tidak mau aku harus menunjukkan sedikit etika berbasa basi yang entah kenapa menjadi sesuatu yang memberatkan untukku. Kadang aku berharap ada bola kaca anti basa basi sehingga siapapun yang malas untuk bersosialisasi dapat mengunci dirinya di dalam. Itu bisa membuat hidup jauh lebih tenang untuk sebagian orang, setidaknya untukku.

"Iya, rin," jawabku sambil mengumpat dalam hati. Mengutuki macetnya jalanan yang tengah kami lewati. Sudah hampir satu jam tapi tidak ada pergerakan sama sekali. Sial. "Kamu main ini juga, ya?"

Arin menggeleng sehingga rambut kuncir duanya bergoyang mengikuti gerakan kepalanya. "Mama ga bolehin aku main itu. Katanya buang-buang waktu."

Ah, kemunafikan orang tua terdeteksi dengan sangat jelas. Lina adalah pecinta Candy Crush dan selalu memainkannya saat sedang online di Facebook. Adalah hal yang ironis jika dia melarang Arin menikmati game semacam ini bahkan mendiskreditkannya!

"Umur Tante berapa sih?" tanya Arin lagi. Polos.

Sejujurnya aku menyesal mengikuti pancingannya. Tapi aku jauh lebih menyesal mengetahui bahwa sekolah tidak cukup sensitif dengan isu seperti ini. Seandainya semua orang dari kecil diajarkan untuk mengerti bahwa tidaklah pantas bagi seseorang menanyakan tentang umur kepada seorang perempuan. Apalagi berat badan. Mungkin hidup akan jauh lebih menyenangkan.

"32," jawabku jujur. "Umur kamu berapa, rin?"

"Sembilan tahun," balas Arin sambil memainkan ujung rambutnya. "Berarti Tante seumuran Mama, ya? Tante juga punya anak?"

Aku menghela napas,"Sayangnya belum."

"Tante pengen punya anak?" Arin semakin tertarik. Dia sepertinya terlalu banyak mendengarkan obrolan Lina saat bergosip di telepon. Ini kenapa seharusnya kita berhati-hati berbicara di depan anak kecil. Kita tidak mau sang anak memiliki pola pikir dewasa sebelum waktunya.

Aku memasukkan smartphoneku ke dalam tas. Taktik dengan sibuk sendiri ternyata tidak berhasil. Atau bisa dibilang gagal total. "Ya. "

"Tante mau punya anak berapa?"

"Satu anak cukup untuk bikin tante disebut orang tua. Lebih dari satu anak itu artinya tante bakalan jadi wasit."

"Tapi mama bilang mama mau punya banyak anak jadi aku bisa punya banyak adik."

"Itu karena Mama mau bikin kesebelasan."

Arin menunjukan ekspresi kebingungan.

Aku menyesal membuat lelucon itu. Seandainya aku tahu bagaimana caranya berkomunikasi dengan anak kecil. Jika Ibuku melihat aku berbicara seperti ini dengan Arin, dia pasti akan tersenyum penuh kemenangan. Mungkin akan tertawa terbahak-bahak.

Sewaktu aku masih duduk di bangku kuliah, aku masihlah seorang gadis yang naif. Saat itu aku sudah bersiap mengadopsi seorang anak kecil yang merupakan cucu dari tetangga nenekku. Anak itu dititipkan oleh ayahnya yang memutuskan menikah lagi begitu istrinya meninggal dunia. Ibuku tertawa mendengarkan keinginanku itu dan mengatakan bahwa merawat seorang anak itu butuh komitmen yang sangat tinggi. Aku masih terlalu muda untuk berkomitmen seperti itu. Ibuku kemudian menantangku untuk merawat seekor anak kucing yang tersasar di depan rumah. Satu bulan pertama aku cukup hebat merawat si anak kucing yang kuberi nama Heli. Sayangnya seiring semakin dewasanya Heli pada bulan - bulan berikutnya, aku semakin tersadar betapa sulitnya untuk berkomitmen. Aku kelelahan dan menjadi putus asa sehingga meminta Ibuku untuk merawat Heli.

Kamu ga bisa mengalihkan tanggung jawab kamu ke orang lain, Sinta. Ketika kamu memutuskan untuk memiliki seorang anak berarti kamu sepakat mendedikasikan seluruh hidupmu untuk anakmu tanpa adanya balas jasa. Jadi berpikirlah dengan sangat matang sebelum kamu membuat keputusan yang melibatkan manusia lainnya. Dengan begitu tidak akan ada yang dikorbankan karena ego sesaatmu. Begitulah argumen Ibuku. Mematahkan seluruh pemikiran dangkalku. Akhirnya , Heli diserahkan kepada seorang pecinta kucing dan aku memutuskan untuk tidak memiliki anak. Tidak, jika aku sendiri belum siap untuk itu. Bagaimana mungkin seorang anak kecil mengurus anak kecil?

"Tante kok diem?" tanya Arin. "Tante sedih juga ya kayak Mama?"

"Ah, enggak kok," jawabku tersenyum. "Emang Mama lagi sedih, ya?"

"Iya. Mama sedih terus. Aku ga tau kenapa," Arin tampak sedih.

"Oh itu mungkin karena hormon," Aku memberikan jawaban yang segera aku sesali.

"Apa itu?"

"Kamu bakalan ngerti nanti pas kamu udah gede. Sabar ya," aku menggunakan jawaban favorit Ibuku atas berbagai pertanyaan yang kuajukan saat seumuran Arin. Pada akhirnya aku paham bahwa itu hanyalah kata-kata halus dari "tutup mulutmu,Nak."

"Apa karena itu juga makanya Papa jarang pulang, ya?" Arin bertanya lagi.

"Mungkin karena Papa itu Bang Toyib?"

"Papa itu apa?"

Aku memarahi diriku sendiri karena masih ingin tertawa dalam keadaan aneh seperti ini. Alih-alih menjawab, aku malah membuat pertanyaan. "Kamu kangen Papa , ya?"

"Iya, biasanya Papa suka bacain buku cerita. Kalo Papa yang cerita, Papa suka pake suara macem-macem. Aku suka."

"Oh gitu ya?" Aku bingung harus merespon apa.

"Aku pengen tinggal di rumah Eyang lagi aja, Tante," kata Arin, pelan. "Aku gak mau pulang."

"Kenapa ga mau pulang?"

"Ga enak di rumah."

"Ga enaknya?"

"Abis Mama sama Papa kayaknya ga sayang sama aku lagi."

Aku menelan ludahku sendiri. Apakah aku cukup mampu untuk memberikan sebuah penjelasan kepada seorang anak kecil? Bagaimana caranya menjelaskan sesuatu yang rumit secara sederhana?

"Mama sama Papa sayang Arin kok," jawabku hati-hati. "Cuman..."

"Kalo Mama sama Papa emang sayang sama aku harusnya mereka suka main sama aku, " potong Arin dengan muka merah ingin menangis.

"Ah," Aku tidak tahu harus berkata apa. Pada akhirnya aku hanya bisa menepuk-nepuk bahu Arin dengan canggung. "Gimana kalau tante ajarin kamu main Candy Crush aja?" tawarku.

AFR - Kembaliin Suami Gue , Bab 2.

Comments

Popular Posts