Bab 5: Jujur yang Petaka

Jadi, apa kebohongan pertama yang perlu kuakui?

Tuhan.

Aku merupakan seorang penganut salah satu agama samawi yang terkenal. Kepercayaanku akan tuhan tidak lepas dari pengaruh orang tuaku yang membeo mengikuti generasi mereka sebelumnya yang juga membeo dari generasi sebelumnya.

Jadi, ketika aku mulai mempertanyakan identitasku sendiri, aku pun mulai mempertanyakan tuhan yang selama ini kuanut dengan sangat baik.

Oh, aku berada di sebuah keluarga moderat, namun aku termasuk dua orang yang paling rajin menjalankan ritual ibadah bahkan konsisten. Jadi, tidak mungkin bagiku sampai berpikiran bahwa aku akan mempertanyakan tuhanku sendiri, bukan? Aku sudah berkali-kali berdoa padanya untuk menjadikanku selamat dari golongan yang sesat yang dibencinya.

Tapi kurasa arogansiku sebagai seorang penganut agaknya berlebihan. Nyatanya, aku mulai bertanya pada diriku sendiri: apakah tuhanku memang sudah benar? Apakah aku mempercayainya karena aku memang percaya atau jangan-jangan karena keluarga dan orang sekitarku percaya akan adanya tuhan?

Semakin aku memikirkan tuhan, semakin sulit bagiku untuk terus bertahan pada posisi mempercayainya.

Aku hanya tidak tahu apakah suatu keharusan memiliki tuhan atau setidaknya mempercayainya dalam menjalani kehidupan ini? Bisa jadi ya, jika itu bisa membuat diri kita sebagai seorang individu yang baik. Namun jika itu menjadikan kita seorang munafik yang tidak mau mengakui kemunafikan itu, rasanya itu menjadi sesuatu yang tidak lagi baik.

Oh percayalah, rasanya tidak menyenangkan tidak mengetahui sesuatu. Itu bisa membuat diri kita frustrasi sendiri. Namun tidak mengetahui sesuatu merupakan hal yang paling manusiawi yang dapat dilakukan manusia. Sayangnya, ada sebagian orang yang begitu tidak mau bersabar dan mencoba membuat jawaban sendiri atas segala rasa penasarannya. Jawaban yang ingin ia dengar dan ia pahami, meskipun pada kenyataannya mungkin tidak seperti itu.

Tapi untuk apa? Untuk apa kita menikmati jawaban yang dibuat buat? Itu hanya akan membuat kita lupa bahwa ada baiknya kita belajar untuk jujur kepada diri sendiri ketimbang harus memanipulasi diri.

Jadi , ketika sebagian dari mereka menghadapkanku pada serangkaian konsep, aku hanya mendengarkan dan tidak berusaha terburu-buru mengikuti apa yang mereka sudah lebih dahulu percayai. Siapa yang bisa menjamin mereka benar benar percaya? Bagaimana jika mereka sebenarnya ragu dan membuat orang lain "percaya" akan membuat mereka percaya. Bukankah masih banyak orang yang percaya bahwa jumlah banyak sama dengan benar?

Jadi ,ketika mencoba jujur bahwa aku belum dapat dan agak sulit menerima konsep tuhan sang pencipta, aku justru malah menyulitkan diriku sendiri.

Aku pikir aku masih berusia 24-25 tahun ketika akhirnya mengakui bahwa aku adalah seorang tak bertuhan di hadapan keluargaku sendiri.

Pada awalnya aku tidak pernah mau membuka identitasku. Cukup aku dan orang-orang asing yang kukenal di dunia maya saja. Kenapa? Pertama, karena aku tahu aku berada di sebuah negara yang tidak menjamin hak-hak warga negaranya yang tidak bertuhan. Kedua, adanya kecenderungan bahwa mereka yang percaya tuhan begitu rentan tersakiti jika salah satu orang yang dipedulikannya menjadi berbeda dengan mereka. Oh tidak hanya rentan tersakiti, mereka kadang rentan untuk menyakiti juga. Jadi, untuk apa mengaku?

Sialnya, perbedaan yang signifikan dimana aku tidak lagi terlihat menjalankan ibadah menjadi tanda tanya besar bagi keluargaku. Pada akhirnya, di pagi yang cerah dimana seharusnya kami mulai berangkat untuk mencari uang, kami justru berada di ruang keluarga dengan aku berada di posisi untuk diinterogasi.

Mereka mengira aku pindah agama. Pada saat itu mungkin dengan mengakui saja tuduhan mereka, kejahatanku akan sedikit lebih ringan di mata mereka. Namun saat itu aku bertanya pada diriku, untuk apa aku membuat satu kebohongan lainnya? Apakah tidak sebaiknya kuakui saja dan membiarkan mereka menelan pil pahit bernama kenyataan alih-alih harus membuatkan gelembung kenyamanan agar mereka tidak terluka egonya?

Tidak.

Aku pun, dengan kenekatan serta kenaifanku, mengakui dengan terbuka mengenai identitasku yang sebenarnya. Oh , seandainya kau berada di sana juga. Kau akan dapat langsung merasakan tatapan penuh kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan dari masing-masing orang meskipun ruangan itu menjadi begitu hening sesaat.

Seperti baru saja terkena bom atom, keheningan itu langsung berubah total menjadi keriuhan yang penuh emosi. Kakak laki-lakiku berteriak bahwa aku sesat. Ibu, adik, dan nenekku langsung menangis sesegukan. Ayahku terdiam dan sepertinya berusaha mencerna keadaan. Sementara aku? Aku merasa seperti seorang yang dituduh melakukan kejahatan berat yang tengah diadili tanpa pengacara. Sendirian, terluka dan harus memperjuangkan posisiku sendirian.

"Kamu bukan anakku lagi."

Itu merupakan kata-kata yang sering kudengar di drama-drama TV yang tidak pernah kuanggap serius. Tapi ketika kata-kata itu keluar dari mulut ibumu sendiri, harus diakui rasanya sangat menyakitkan.

Bagaimana sebuah agama dapat membutakan seorang manusia akan kenyataan yang sebenarnya. Jadi kukatakan padanya bahwa pernyataannya merupakan sesuatu yang tidak adil dan sedikit ironis. Bagaimana mungkin ikatan darah digantikan dengan ikatan agama?Tapi ketika ibumu memutuskan bahwa satu agama adalah segala-galanya dan karenanya memintamu untuk keluar dari rumah, tidak ada yang bisa kau lakukan selain mengikuti titahnya.

Aku beranjak dari ruangan itu dengan rasa tidak percaya. Kau tahu? Aku nyaris mengira ini mimpi buruk tapi sialnya ini kenyataan. Jadi, dengan air mata yang terus mengalir, aku mengambil apapun yang bisa kuambil termasuk kucing kesayanganku, Silo. Dia baru saja melahirkan pagi itu dan aku yang membantunya, jadi dia cukup lemas untuk tidak melawanku hari ini. Aku langsung memasukkannya dan anak-anaknya ke dalam sebuah kardus yang besar.

Kita harus pergi, Silo. Begitu kataku.

Di ruang tamu, ayahku yang akhirnya berhasil menyerap kenyataan yang baru saja terjadi, berusaha memintaku untuk tinggal. Mengatakan bahwa ibuku sedang sedikit emosional dan seharusnya aku tidak benar-benar mendengarkannya. Tapi saat itu aku lebih memilih mengikuti egoku karena aku terlalu terluka. Itu sangat menyakitkan. Sangat. Jadi aku memutuskan untuk pergi ketimbang memaklumi kata-kata yang baru saja dilontarkan.

Tidak tega melihat keadaanku, ayahku pun mengantarku pergi. Aku memintanya agar mengantarkan ke almamaterku. Aku tahu ada beberapa tempat yang mungkin dapat menjadi pilihan untukku dan Silo serta bayi-bayinya yang bahkan belum kuberi nama.

Sedihnya, tempat-tempat itu sudah penuh dan aku ingat, pada akhirnya ayahku menghentikan mobilnya di tempat parkiran untuk beribadah dan memintaku untuk tidak pergi kemanapun.

Aku ingat, akhirnya aku menghabiskan waktuku menunggu dengan memperhatikan Silo yang kelelahan. Aku sedih karena aku tidak memiliki rumah sendiri untuk kami berlindung. Rumah dimana tidak akan ada yang mengusirmu begitu saja. Jadi, saat itu, aku berjanji di dalam hatiku bahwa suatu saat aku akan punya rumah sendiri. Rumah, dimana hanya ada aku, Silo dan anak-anaknya.

Ya, sebuah rumah, yang tenang, damai dan layak untuk dijadikan tempat berlindung dari segala hal yang mengerikan.

- Bab 5, Jurnal 30, AFR

Comments

Popular Posts