Bab 3: Yang Ingin Mereka Lihat
Aku menatap diriku di cermin.
Aku tidak terlalu tinggi , tidak pula terlalu pendek. Katakanlah untuk ukuran perempuan Asia, tinggiku agak sedikit di atas rata-rata. Kulitku berwarna gelap dan tubuhku sangat kurus dengan rambut panjang melewati sebahu berwarna hitam yang kemudian selalu kupolesi dengan warna burgundy.
Kau tahu? Dengan menggunakan standar kecantikan perempuan Asia, aku tidak begitu menarik secara fisik. Apalagi ditambah dengan dada yang rata.
Jelas, dianggap menarik oleh semua orang khususnya lawan jenis bukanlah sesuatu yang dapat kuharapkan. Aku tahu , sebagian besar dari mereka lebih tertarik dengan gadis yang berbanding terbalik denganku.
Itu sebabnya aku tak pernah percaya jika seseorang mengatakan padaku bahwa aku menarik. Aku kerap berpikir bahwa mereka hanya kasihan padaku.
Oh, aku tumbuh di era Britney Spears dan Sancai, Jihan Fahira, Diana Pungky. Hampir semua gadis di eraku akan mengikuti mereka dan aku merasa menjadi berbeda. Aku tidak pernah tertarik untuk mengikuti jejak mereka. Aku pikir aku adalah bencana, jadi aku hanya ingin mati. Aku tidak ingin menghabiskan waktuku untuk itu. Tidak. Tidak ada harapan.
Begitulah akhirnya aku tumbuh. Aku tumbuh dengan serangkaian slogan tentang bagaimana menjadi seorang perempuan. Cukup membuatku depresi karena tidak ada satu pun yang mewakili diriku.
Mereka yang disana, yang jauh lebih dewasa dariku, berlomba-lomba menciptakan dan menjual image idealnya seorang perempuan demi membuat kantongnya sendiri penuh. Mereka mengatakan perempuan harus berkulit putih, mereka mengatakan perempuan harus memakai jilbab, mereka bilang perempuan harus cerdas, mereka bilang perempuan harus begini dan begitu.
Aku telah terbiasa tumbuh dengan memakai celana pendek, sendal berbunyi, dan baju dengan sayap di belakangnya. Aku tumbuh dengan memanjat pepohonan dan berlarian di bawah terik matahari. Tidak peduli apakah kulit dan rambutku rusak. Aku hanya suka seperti itu.
Tapi ketika beranjak dewasa dan mengenal persaingan kejam untuk mendapatkan perhatian lawan jenis bahkan sebuah pengakuan akan keberadaan diri, aku mulai memandang rendah diriku.
Mengapa mereka tidak menyukaiku? Apa yang salah denganku sehingga mereka tidak ingin mengenalku lebih jauh? Apakah sosokku yang tidak mengikuti standar pada umumnya menjadi pertanda bahwa aku adalah manusia yang tidak menarik untuk dipahami?
Aku jelek, aku jelek, aku jelek.
Berapa kali aku harus mengatakan itu?
Tak terhitung.
Bertahun-tahun kemudian aku berpikir bahwa aku dikutuk. Kau tahu? Dikutuk untuk menjadi berbeda. Tidak diterima. Aku merasa itu bukanlah kesalahanku, tapi aku yang terbilang muda masih belum paham tentang berbagai hal, memutuskan itu adalah kesalahanku. Jadi karenanya aku memutuskan untuk menghukum diriku dengan cara membenci diriku sendiri.
BAB 3 - Jurnal 30 - AFR
Comments
Post a Comment