Bab 8 : Persiapan

November 2017.

Aku terbaring dengan rasa yang carut marut.

Sebagian diriku berteriak ingin menutup mata. Sebagaian berteriak untuk membuka mataku.

Butiran-butiran obat itu kutenggak lagi dan lagi.

Aku sudah mempersiapkan semuanya.

Aku sengaja mencari hari yang hening
Membersihkan seluruh kamar dan berdandan yang rapi.

Ini waktunya. Kupikir ini waktunya aku meninggalkan dunia ini.

Aku merasa sangat sulit untuk berada di tempat ini.

Aku tidak berhasil mendapatkan apapun.

Aku merasa segalanya begitu tidak terbaca. Membuatku menyadari bahwa aku tidak memiliki kuasa apapun.

Kenapa aku harus bertahan jika tempat ini bukanlah rumahku?

Aku berjalan sebelum masuk ke kamarku. Melihat sejenak keadaan di luar. Sepi. Senyap. Rumah ini tenang dan aku selalu menyukainya.

Namun kali ini aku sedikit membencinya. Aku merasa ada yang mengawasiku. Lantai dua itu. Mengajakku untuk terjun bebas.

Di dalam kepalaku muncul perdebatan kecil. Haruskah aku melompat? Atau aku naik ke lantai tiga? Mungkin lantai empat?

Aku tak bergeming.

Meskipun aku merasakan adanya daya tarik yang kuat untuk bergerak dan mengikuti sensasi itu.

Tapi tunggu dulu. Bagaimana jika aku tidak mati dan menjadi cacat? Apakah itu bukankah suatu kemunduran? Bukankah itu menjadi neraka keduaku?

Aku bergerak dari tempat dudukku dan menaiki tangga ke lantai dua, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Mengambil butiran-butiran itu.

Jika aku meminumnya dengan jumlah banyak, mungkinkah ini akan memicu serangan mendadak ke jantungku yang cacat?

Aku menenggak 3, 5, 6 butir. Aku merasa sangat kembung. Tapi aku terus memaksa untuk menelan lagi dan lagi.

Puas, aku pun berbaring dan melihat ke jendela kamarku. Yang sengaja kubuka lebar. Aku bisa melihat langit biru yang cerah. Apakah ini terakhir kalinya aku melihatnya?

Aku terdiam. Membiarkan potongan-potongan perjalanan hidupku sejauh ini memenuhi isi kepalaku.

Alu merasakan sesak napas, mual, dan pusing. Tapi aku terus memaksa menelan butiran lainnya. Sampai aku merasa mulutku tak ingin lagi bekerja.

Aku menunggu, terus menunggu.

Kutulis sebuah pesan panjang di buku bacaan yang tergeletak di samping bantalku.

Tapi untuk apa aku menulis sebuah pesan? Untuk menjelaskab bahwa tidak ada yang harus dihukum atas ketidakberadaanku?

Bahwa mereka tidak perlu menyalahkan dirinya karena ini adalah keinginanku?

Apakah ini benar-benar keinginanku?

Ataukah ini adalah sebuah cara untuk mengakhiri rasa sakit pada luka di dalam diriku?

Kuambil pisau lipat yang berada di samping buku. Kutimbang-kutimbang, apakah aku perlu menggunakannya?

Kucoba torehkan pada lembaran buku yang saat itu belum selesai kubaca.

Lembaran itu tergores dengan sangat rapi dan dalam.

Haruskah kupercepat?

Atau kubuka saja pintu berandaku dan terjun bebas?

Aku menoleh ke cermin lemariku. Menatap diriku sendiri. Menderita.

Aku bersedih. Bersedih karena tidak bisa menolong diriku sendiri.

Tak ada yang dapat kulakukan selain terbaring lemah, menunggu waktu yang tepat untuk pergi.

Kutelan lagi butiran itu. Tapi perutku mulai bergejolak.

Aku tidak tahu harus bagaimana dan ingin menangis.

Tapi bahkan air mataku sudah tidak ingin keluar lagi.

Jadi, aku terus menatap langit-langit kamarku yang putih. Terpaku pada lampunya dan menonton potongan acak dari kenangan yang ada.

Makin lama makin cepat dan tidak beraturan.

Aku merasa kedinginan dan tanganku bergetar.

Seluruh badanku menjadi tidak enak.

Aku berguling ke kiri dan ke kanan.

Aku merasa sangat tersiksa. Di saat bersamaan aku berusaha untuk merelakan diriku pergi.

Pergi entah kemana.

Jadi, aku menutup mataku , berharap siksaan ini cepat berakhir.

Aku ingin pulang. Ke sebuah rumah yang tak pernah kumiliki.

Aku menyerah.

Kupingku mulai berdenging dan potongan-potongan yang bergerak cepat di dalam pikiranku semakin tidak beraturan.

Kemudian aku tiba-tiba membuka kedua mataku.

Tidak, aku belum mau mati.

Bagian dari diriku segera memegang kendali.

Aku seperti orang yang tenggelam dan kemudian sadar aku dapat berenang untuk naik ke permukaan dan bernapas lagi.

Kutarik diriku untuk bangun dan memaksa diriku muntah. Mengeluarkan apa yang dapat kukeluarkan.

Aku, aku ingin hidup.

Jadi kumuntahkan lagi dan lagi.

Setelahnya, aku kembali ke tempat tidurku. Lemah dan kedinginan.

Aku mulai memeluk diriku dan menangisinya.

Bagaimana mungkin aku menjadi begitu kejam terhadap diriku sendiri?

Bagaimana mungkin aku memaksa diriku mati padahal aku belum menginginkannya?

Bagaimana mungkin?

Lalu aku makin terisak dan memeluk diriku lebih erat.

Untuk pertama kalinya aku meminta maaf pada diriku sendiri.

Maafkan aku.

Maafkan aku yang telah membuat diri kita menderita dan terpenjara di tempat yang tidak seharusnya.

***
Bab 8 : Persiapan
Jurnal 30, AFR

Comments

Popular Posts