Bab 6: Dunia Baru
Ini menyakitkan.
Kau tahu?
Aku terbiasa hidup di dalam gelembung dimana segalanya dimudahkan. Aku tidak terbiasa dengan penolakan dan kekalahan. Itu tidak ada dalam kamus kehidupanku.
Jadi, ketika akhirnya aku harus berdiri sendiri karena kejujuranku akan ketidakpercayaanku atas sosok yang sakral, aku menjadi hancur.
Tidak ada yang mengajariku untuk memahami dunia di luar gelembung. Segalanya bergerak cepat dan tidak ada keteraturan yang membuatku dapat bernapas sedikit.
Aku, yang biasanya diandalkan menjadi seorang yang dapat dibanggakan, kini berubah menjadi seorang yang gagal.
Apakah ini sebanding dengan cara mempertahankan kejujuranku?
Sebagian dari diriku ingin segera berlari pulang, menyerah pada zona nyamanku. Tapi sebagian diriku yang lain memberontak, mempertanggungjawabkan apa yang telah kupilih.
Jadi, diantara kekalutanku, aku meluncur ke dalam sebuah lubang hitam dan terkubur hidup-hidup disana.
Apa yang harus kulakukan?
Tiba-tiba aku menjadi tidak memiliki apa-apa. Tidak ada, selain harga diriku yang terkoyak.
Aku merasa sangat kehilangan arah dan tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku bahkan tidak tahu harus meminta tolong pada siapa.
Aku ingin berbaring dan menutup mata. Tidak ingin melihat dunia lagi. Tapi tubuhku memberontak. Mencoba merespon untuk bertahan hidup.
Jadi, dengan kehancuran di dalam diriku, aku berjalan mencari rumah kecil dan uang untuk bertahan.
Tak ada rumah yang nyaman dan layak jika kau tidak punya uang yang banyak. Itu pelajaran pertama yang kudapatkan dari sekolah bernama kenyataan.
Aku ingin menangis akan segala hal yang dapat kunikmati sebelumnya dengan cuma-cuma. Aku tidak pernah ambil pusing untuk memikirkan tentang bagaimana bertahan untuk hidup esok harinya atau bahkan malam ini.
Ini masa yang mengerikan. Aku, aku yang bercita-cita ingin menulis , terbebas dari sebuah sistem busuk, ironisnya kini masuk ke dalam sistem busuk itu. Kapitalisme.
Sebuah sistem yang dulunya kuagung-agungkan namun justru menindasku ketika aku menjadi bahan pembakarnya.
Ah, dunia ini memang tidak seindah gelembung kenyamanan yang diberikan kedua orang tuaku. Aku membencinya, sangat membencinya. Sialnya aku tak punya pilihan. Aku, harus menjalaninya seorang diri.
Bab 6, Jurnal 30, AFR
Comments
Post a Comment