Bab 7 : Bayang - Bayang
Aku merasa harus selalu menjadi terbaik.
Kau tahu?
Rasanya tidak selalu menyenangkan berada di bayang-bayang orang tuamu yang ternyata mempunyai kesan yang baik di lingkunganmu tinggal.
Aku memiliki seorang ibu yang luar biasa. Begitu kata orang - orang.
Ibuku berasal dari desa. Tapi di desa, ia memiliki keluarga yang cukup dikenal banyak orang.
Ibuku berasal dari sebuah suku kecil yang menganut sistem matriarki dimana menitikberatkan pada posisi perempuan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Ibuku adalah pewaris suku untuk garis keturunan nenek moyang. Karena ia lahir dari seorang perempuan yang memiliki anak perempuan.
Keberadaan anak perempuan sungguhlah penting di suku ibuku. Terutama anak perempuan yang lahir dari garis keturunan ibu. Ini adalah posisi istimewa. Setelah ibuku, maka posisi itu akan kudapatkan jika aku punya anak perempuan.
Tapi aku sendiri cukup skeptis dengan kemungkinan memiliki anak perempuan. Jadi aku pikir ini salah satu kegagalan yang untungnya tidak terlalu berpengaruh untukku.
Mungkin karena ibuku tidak lagi terlalu mengikuti tradisi sukunya. Ia pindah ke Jakarta ketika masih sekolah hanya untuk dijodohkan oleh ayahku. Sepertinya apa yang dimiliki ayahku saat itu berhasil meyakinkan kakekku untuk membiarkan anak gadisnya dinikahi.
Berbeda dengan keinginan ayahnya, ibuku tidak ingin menikah. Tapi dia tidak begitu punya kuasa untuk melawan karena dia begitu sayang ibunya yang saat itu justru mendukung suaminya. Ia sepertinya percaya bahwa ibuku akan hidup nyaman dengan ayahku.
Jadilah ibuku menikah muda.
Lahirlah anak-anaknya termasuk aku.
Seorang anak perempuan yang dinantikan untuk melindungi garis keturunan. Keberlangsungan hidup suku ibuku.
Sementara semua orang berusaha untuk mengintervensi kehidupanku baiknya seperti apa, ibuku yang paham rasanya diatur kehidupannya memutuskan untuk membebaskanku jauh dari tradisi.
Aku hidup lebih bebas dan tidak diberi aturan. Sebagian besar hidupku, aku tak perlu bersusah payah. Tugasku hanyalah bermain dan belajar. Tak ada yang lain. Tak pula menjaga adikku.
Pada awalnya aku merasa tidak apa-apa dengan keadaan seperti itu. Namun yang kusadari bahwa semakin dewasa, aku semakin merasakan kesepian berada di rumah.
Ibuku memiliki banyak kegiatan sosial, membantu siapa saja. Ia adalah orang yang ketika melihat sesuatu yang tidak adil , maka ia merasa harus segera maju ke depan dan melakukan sesuatu.
Ibuku mampu melawan sendiri manajemennya ketika ia melihat anak buahnya akan dipecat tanpa pesangon. Ia mengalami intimidasi tapi ia tidak gentar. Pada dasarnya ia adalah seorang yang berani untuk menentang sistem yang menindas orang lain.
Berapa banyak orang yang selalu mengatakan bahwa aku seharusnya bangga pada ibuku. Namun pernyataan semacam itu ironisnya menjadi dorongan demi dorongan yang mengatarkanku pada pertanyaan mengapa aku melihat ibuku secara berbeda? Mengapa aku tidak bisa bersyukur atas ibuku?
Aku selalu melihat para ibu teman-temanku berada di rumah , menghabiskan waktunya untuk merawat anak-anaknya. Sementara aku? Kadang hanya bersama nenekku dan pembantu.
Aku justru menjadi dekat dengan salah satu pembantuku ketimbang ibuku. Aku merasa tidak memiliki ikatan emosional dengan ibuku. Semakin lama semakin tidak ada dan hilang. Aku membenci ibuku yang memilih sibuk dengan urusannya ketimbang diriku.
Apakah aku tidak layak untuk diperhatikan? Apakah orang-orang yang dibantunya jauh lebih penting dariku?
Aku berusaha untuk berprestasi di sekolah. Itu satu-satunya kesempatan dimana ibuku akan datang dan aku bisa melihatnya tersenyum bahagia.
Jadi, yang aku tahu itulah satu-satunya cara ibuku melihat diriku. Maka aku terus menciptakan satu kesuksesan dan satu kesuksesan lagi. Tapi lama-lama aku bertanya, apakah aku harus sukses terlebih dahulu untuk mendapatkan perhatiannya?
Lantas lambat laun aku mulai merasa hampa dan lelah. Segala prestasi itu tidak lagi menarik untukku. Perlahan aku mulai membenci diriku.
Bagaimana mungkin semua orang bisa mencintaimu jika ibumu sendiri tidak tertarik menghabiskan waktunya denganmu?
Jadi, aku mengatakan kepada diriku bahwa aku tidak berharga dan aku tidak percaya bahwa akan ada orang yang benar-benar tulus kepadaku.
Aku pun mulai belajar membuat tembok tinggi dimana orang tidak dapat menyentuhku.
Aku , perlahan tapi pasti menghilang dari kenyataan dan masuk ke dalam duniaku yang redup kemudian gelap.
Aku ingin tidak ada lagi berada di dunia ini lagi.
Bab 7, Bayang-Bayang, Jurnal 30, AFR
Comments
Post a Comment